Harga minyak sawit sangat dipengaruhi stok dan melambatnya pertumbuhan produksi. Kalangan analis memproyeksikan harga bergerak di kisaran US$ 600-US$ 750 per ton.
Sebulan setelah IPOC 2019, harga sawit beranjak naik. Pada 21 November 2019, harga sempat tembus RM 2.700 per ton untuk pengiriman tiga bulan mendatang di Bursa Malaysia. Sejumlah faktor mempengaruhi pergerakan harga seperti fluktuasi harga minyak nabati dan mata uang ringgit.
“Saya yakin (harga) akan tembus 2700 Ringgit Malaysia per ton. Hanya tidak juga begitu cepat naiknya,” ujar Derom Bangun, Ketua Umum DMSI, pada pertengahan November 2019.
Ia mengatakan faktor-faktor yang mendorong kenaikan harga berkaitan penurunan produksi sehingga stok dikhawatirkan sudah berada di bawah produksi 1 bulan. Produksi rata-rata per bulan tahun ini adalah sekitar 4 juta ton. Sementara itu, stok sawit diperkirakan hanya 3,73 juta ton. “Biasanya stok yang normal itu minimum kira-kira 1 bulan jika kurang dari 1 bulan, pasar akan segera merasakannya misalnya pihak pembeli ketika mengadakan tawar-menawar dengan produsen jumlah yang diharapkan tidak dapat disediakan,” ujar Derom.
Dampak dari ketatnya stok ini adalah harga terdorong naik. Derom mengatakan selain itu produsen biodiesel harus membeli banyak CPO untuk persediaan memenuhi kebutuhan yang diperkirakan akan naik mulai bulan Januari. Program menaikkan persentase biodiesel di Indonesia menjadi B30 dan di Malaysia menjadi B20 pada Januari 2020 besar pengaruhnya bagi permintaan CPO di kedua negara ini.
Akibatnya stok yang menipis itu menjadi rebutan pembeli untukk mendorong mereka naikkan harga penawarannya. Di Eropa penggunaan biodiesel dari minyak nabati lain juga menyedot stok minyak nabati sehingga harga minyak nabati lain bergerak naik.
“Karena Ringgit Malaysia mengalami pelemahan maka harga diperkirakan 2800 Ringgit Malaysia per ton pada bulan-bulan mendatang,” tambah Derom.
Di IPOC 2019, empat pembicara di sesi proyeksi harga sepakat optimis. Mereka adalah Arief Rachmat, Thomas Mielke, James Fry, dan Dorab Mistry. “Produksi sawit Indonesia tahun depan akan terganggu faktor cuaca dan pengurangan aplikasi pupuk. Akan tetapi, produksi bisa tumbuh satu juta sampai dua juta ton,” kata Arif P. Rachmat, Head Agro Forestry Kadin Indonesia dalam sesi outlook harga di 15th IPOC and 2020 Price Outloo pada akhir Oktober 2019.
Arif mengatakan produksi sawit Indonesia tahun 2020 diproyeksikan 46,1 juta ton, naik dari tahun sebelumnya 44 juta ton. Kenaikan produksi karena tambahan dari areal yang tanaman memasuki usia produktif.
Produksi Malaysia, dikatakan Arif, tidak akan tumbuh signifikan. Jika tahun ini, produksi CPO negeri jiran sebesar 20 juta ton. Diperkirakan tahun depan, produksi hanya naik menjadi 20,5 juta ton.
Seretnya pasokan minyak sawit dunia berpeluang mendongkrak harga. Arif Rachmat memproyeksikan harga minyak sawit bergerak sekira US$ 600 per ton. Lantaran, adanya pertumbuhan permintaan di Indonesia sekira 4,3 juta ton untuk mengisi kebutuhan B30.
Thomas Mielke, Analis OilWorld punya analis serupa dengan Arif Rachmat. Ia memaparkan produksi CPO global diperkirakan tumbuh 1,5 juta ton menjadi 78,2 juta ton pada 2020. Secara global, produksi tumbuh lebih rendah akibat berbagai faktor seperti kegiatan pemupukan rendah, peremajaan lambat.
Dalam analisisnya, kata Mielke,pertumbuhan lebih rendah dibandingkan setahun sebelumnya yang mencapai 4,6 juta ton. Sementara itu, konsumsi CPO akan tumbuh 3,5 juta ton menjadi 80 juta-81 juta ton pada tahun depan. Berdasarkan analisis tadi, Mielke memproyeksikan rerata harga CPO US$600 per ton antara Januari-Juni, dari perkiraan sebelumnya US$580 per ton.
Dorab Mistry, pengamat harga Godrej International, berpendapat harga akan bergerak moderat. Faktor penolong harga di tahun depan adalah program biodiesel di negara produsen seperti Indonesia dan Malaysia. “Program B30 yang dijalankan Presiden Jokowi menjadi game changer pada tahun depan,” ucapnya.
Harga CPO, dikatakan Dorab, akan bergerak di level RM 2.700 per ton sampai kuartal pertama 2020. Dijelaskannya, pasokan minyak sawit Malaysia di tahun 2020 akan lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2019 karena kekeringan dan pemangkasan penggunaan pupuk. Yang terjadi kekeringan melanda wilayah Asia Tenggara tak terkecuali di Indonesia. Kekeringan yang terjadi dan kebakaran lahan menjadi salah satu faktor yang juga mempengaruhi pasokan dan kualitas minyak sawit Indonesia. Saat permintaan berpotensi naik tetapi suplai tertekan. Imbasnya, harga CPO berpeluang naik sampai kuartal pertama tahun depan.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 97)