Dr. Ir. Wilistra Danny, M.For,Sc., Ketua Tim Penguatan ISPO
“Kami tidak ingin membebani petani, malahan sudah menjadi kebijakan pemerintah ingin membantu petani. Jika petani belum memiliki ISPO, buah sawit (Tandan Buah Segar/TBS) mereka tidak akan diterima pabrik,” ujar Wilistra Danny, Ketua Tim Penguatan ISPO saat berbincang di kantornya, awal Agustus 2019.
Danny menegaskan tidak ada niatan pemerintah untuk membebani petani. Tujuannya membantu perkebunan sawit petani supaya diterima pabrik dan berkelanjutan. Dalam perpres, petani diwajibkan untuk ber-ISPO. Tujuannya bukan ingin memberatkan petani. Namun menjadikan petani lebih berkelanjutan. Tolak ukurnya adalah prinsip dan kriteria ISPO tadi.
Dalam perpres yang diharmoniskan sekarang, biaya sertifikasi akan dibantu pemerintah untuk satu periode sertifikasi. Danny menjelaskan pemerintah akan fasilitasi biaya sertifikasi dan tidak menutup kemungkinan mendapatkan sumber pendanaan dari luar negeri. Makanya dalam perpres disebutkan biaya sertifikasi ditanggung pemerintah atau sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat. Berikut ini petikan wawancara tim redaksi kami yang mengulas perkembangan terakhir Perpres ISPO. Selama satu jam lebih tanya jawab berlangsung sebagai berikut:
Mohon dijelaskan seperti apa update Perpres ISPO?
Kita sekarang di perkelapasawitan terdapat tiga aktor utama yaitu perusahaan swasta, perusahaan negara (PTPN), dan petani. Sekarang ini dikotomi petani plasma dengan swadaya sudah tidak terlihat di lapangan karena banyak petani plasma yang terbentuk konsep plasma-inti sudah tidak lagi bekerjasama dengan inti (perusahaan). Alasan mereka ingin mendapatkan harga TBS lebih baik. Karena petani ingin berpikir pragmatis; saya punya lahan, panen sawit, TBS dijual dan tentu ingin mendapatkan harga lebih baik. Sedangkan, kalau terikat dengan perusahaan inti maka mereka berpikiran tidak bebas menjual.
Dari tiga aktor tadi dengan luasan sawit 14,3 juta hektar berdasarkan data Ditjen Perkebunan. Sekitar 52 % dikuasai swasta, lalu perusahaan negara 7 %, dan kepemilikan petani sekitar 41 %. Produktivitas petani tidak lebih dari setengah produktivitas perusahaan swasta dan negara. Lalu petani sawit mendapatkan tudingan dari pasar internasional sehingga sawit kita dinilai tidak berkelanjutan (sustainable). Ada tuduhan petani sebagai penyebab kebakaran lahan, penurunan biodiversitas, dan menghasilkan sawit tidak sehat lalu mempekerjakan anak di bawah umur. Semua tuduhan itu diarahkan kepada petani dan ujungnya sawit kita dinilai tidak sustainable.
Kalau perusahaan besar sudah cukup tata kelola. Sedangkan, petani itu belum. Indikatornya salah satu produktivitas. rerata produktivitas swasta bisa 6 ton CPO/hektar/tahun dan perusahaan negara antara 3-5 ton CPO/hektar/tahun. Produktivitas petani di bawah 3 ton CPO/hektar/ tahun. Sudah ditegaskan Bapak Menko Perekonomian bahwa Indonesia tidak akan menambah luas kebun sawit. Karena, Indonesia memiliki potensi menjadikan produksisawit dua kali lipat lagi. Dengan asumsi, produksi sawit berjumlah 47 juta ton per tahun sekarang ini, nantinya dapat mencapai 80 juta ton. Dengan cara meningkatkan produktivitas perkebunan petani yang sekarang ini luasannya 41% dari total luas kebun sawit yang ada. Dalam beberapa tahun mendatang, kita bisa tingkatkan produksi sawit nasional apabila produktivitas petani ditingkatkan dari 2 ton CPO/hektar/tahun menjadi 5 ton CPO/hektar/tahun.
Selain dari produktivitas tadi, tuduhan pihak internasional dapat dijawab. Salah satunya menyempurnakan sistem ISPO. Karena sistem yang diatur sekarang melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 15/2015 disebutkan petani tidak wajib mengikuti ISPO. Padahal, prinsip dan kriteria ISPO merupakan alat uji untuk mengetahui pelaku sawit sesuai kriteria ramah lingkungan atau tidak. Sejak 2011, ini berarti ISPO sudah berjalan delapan tahun tetapi sebagian besar petani tidak mengenal ISPO. Apabila mereka diwajibkan, maka perkebunan petani dapat diuji dengan prinsip dan kriteria ISPO.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 94, 15 Agustus – 15 September 2019)