Kebijakan larangan ekspor sawit oleh Indonesia memberikan pelajaran berharga kepada dunia. Komoditas emas hijau ini tidak lagi dipandang sebelah mata. Indonesia sebaiknya mengambil momentum ini.
Melintasi jarak 10.821 km, Pietro Paganini terbang dari Roma ke Jakarta. Di Indonesia khususnya pelaku industri sawit sangat dikenal. Memasuki pertengahan Mei 2022, ia diundang khusus berbicara di Roundtable Discussion bertemakan “Dinamika dan PerkembanganTerkini Terkait Minyak Sawit dan Minyak Nabati Lain di Uni Eropa”.
Dalam pemaparan materinya yang berjudul “Palm Oil Supremacy: Reach out to the people of the world” Beliau menekankan bahwa saat ini merupakan saat yang tepat bagi Indonesia untuk mengambil peranan sebagai leader dalam penyediaan minyak nabati di dunia. Terlepas dari isu domestik yang terjadi terkait minyak goreng dan pelarangan ekspor CPO serta turunannya, minyak kelapa sawit saat ini dibutuhkan oleh Uni Eropa bahkan dunia untuk mengisi kekosongan stok sunflower oil yang tidak dapat diisi oleh minyak nabati lain seperti soyabean oil, rapeseed oil maupun olive oil.
“Harus diakui bahwa Indonesia telah lebih maju dalam pembangunan kelapa sawit secara berkelanjutan, Indonesia juga telah menunjukkan kerja keras untuk mengatasi deforestasi selama 1 dekade terakhir. Oleh karena itu, akan menjadi momen yang tepat bagi Indonesia sebagai yang memegang Presidensi G20 untuk menunjukkan kepada dunia bahwa kelapa sawit yang berkelanjutan, sehat dan aman merupakan jawaban untuk mengatasi kekurangan minyak nabati di dunia”, ungkap Profesor Paganini.
Menurutnya terjadi pergeseran peta minyak nabati pasca konflik Rusia-Ukraina berlangsung selama dua bulan terakhir. Kalangan produsen dan super market kembali menggunakan minyak sawit untuk bahan baku produknya.
“Stok minyak bunga matahari yang menipis membuat produsen dan industri pengolahan makanan mereformulasi produknya. Ada yang kembali menggunakan minyak sawit setelah menghilangkannya sekitar periode 2016 dan 2018. Beberapa memboikotnya,” ujar Guru besar John Cabot University Roma, Pietro Paganini seperti dikutip dalam websitenya.
Di kalangan produsen, kata Pietro, agak malu-malu bahkan khawatir untuk menggunakan minyak sawit. Mereka masih berharap pasokan minyak bunga matahari kembali normal pada Agustus mendatang.
Kalaupun ada yang menggunakan minyak sawit diperkirakan mereka akan diam-diam. Lantaran khawatir tekanan NGO maupun reaksi konsumen dan pemangku kepentingan.
Sebagai contoh, produsen makanan asal Italia, Barillla, yang mengurangi penggunaan label “Bebas Minyak Sawit” di kemasan produknya.
Paganini menjelaskan bahwa Barilla sebaiknya menggunakan lagi minyak sawit dalam proses produknya. Sejatinya pada 2016 Barilla menggunakan minyak sawit dengan sertifikasi keberlanjutan. Pada tahun 2017 mereka tidak menggunakan minyak sawit sama sekali dan hanya menggunakan 20% minyak bersertifikat.
Contoh lainnya, Perusahaan makanan Norwegia, Orkla, berpeluang meningkatkan penggunaan minyak sawit karena perang di Ukraina mengganggu pasokan minyak bunga matahari. Sebagai informasi, laporan tahunan Orkla tahun 2021, unit bisnis di divisi makanan dan makanan ringannya telah mengurangi penggunaan minya ksawit lebih dari 90% sejak tahun 2008.
Pekan lalu, Fevia, organisasi yang mewakili produsen makanan di Belgia, mengatakan para anggotanya sedang mencari alternatif minyak bunga matahari di tengah kenaikan harga.
Para produsen dan pengolah makanan di Eropa memang di bawah tekanan kelangkaan komoditas dan melonjaknya harga minyak nabati, terutama minyak nabati non sawit. Di sisi lain, minyak sawit menjadi opsi terbaik.
Jika mereka pintar mereka akan membelinya. Jika tidak, dunia ini jauh lebih besar dari Eropa. Eropa kecil tetapi masih berpengaruh secara politik, jadi sebaiknya ikuti saja mereka. Sekarang saatnya berjabat tangan dan menjual sebanyak mungkin minyak sawit berkelanjutan, katanya.
Menurut Paganini, Barilla harus kembali menggunakan minyak sawit dalam proses produksinya, karena minyak sawit jauh lebih baik, aman dan bersertifikat berkelanjutan. Pada tahun 2016 Barilla menggunakan minyak sawit dengan sertifikasi keberlanjutan. Sementara tahun 2017, mereka tidak menggunakan minyak sawit sama sekali dan hanya menggunakan 20% minyak bersertifikat.
Paganini mengatakan saat ini produsen dan pengolah makanan di Eropa, berada di bawah tekanan kelangkaan komoditas dan melonjaknya harga minyak nabati, terutama minyak nabati non sawit.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 127)