Dukungan legislasi dibutuhkan industri kelapa sawit di Indonesia supaya tetap berkelanjutan. Langkah ini diperlukan supaya sawit dapat dikelola dari hulu hingga hilir secara menyeluruh.
Ia menyoroti adanya stigma negatif dari negara lain yang menyudutkan kelapa sawit dengan dalih merusak lingkungan karena disinyalir erat dengan deforestasi. “Banyak kemunafikan dari orang-orang Eropa tentang sawit di Indonesia. Tidak dipungkiri, ada yang tidak tahu pohon sawit seperti apa. Pada hal pohon ini tumbuhnya juga sama seperti komoditi lain, kopi, kakao,” kritik Firman dalam paparannya di Seminar Nasional bertema ‘Sawit Memerdekakan Rakyat Indonesia dari Kemiskinan pada awal Agustus 2023.
Firman mengatakan keberadaan kelapa sawit di Indonesia tidak dapat dianggap remeh, mengingat pada kenyataannya kini Indonesia merupakan produsen terbesar dan sekaligus konsumen terbesar minyak sawit dan produknya di dunia. Indonesia menghasilkan 45,58 juta ton minyak sawit, mengekspor 25,62 juta ton dan mengonsumsi 18,4 juta ton minyak sawit dari area 16,8 juta hektare (ha) yang juga merupakan perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia. Karena itulah industri kelapa sawit menjadi salah satu sektor strategis yang menopang perekonomian Indonesia.
Perkembangan industri kelapa sawit dianggap banyak kalangan sebagai suatu yang amat penting dari kebutuhan pokok. Karena minyak sawit merupakan bahan baku dominan minyak goreng di dalam negeri dan merupakan salah satu kebutuhan esensial masyarakat. Bahkan, minyak sawit (CPO) sudah digunakan sebagai bahan baku untuk biodiesel, salah satu alternatif energi baru terbarukan.
Menurutnya seberapa jauh negara menyikapi dan hadir terhadap keberadaan komoditi kelapa sawit yang sangat strategis ini akan berdampak terhadap keberlanjutan kelapa sawit. Sayangnya, hingga saat ini masih ada kekosongan hukum yang bisa memproteksi komoditi – komoditi strategis perkebunan di Indonesia.
“Kita ada tujuh komoditas yang potensial dan pros pekekonomi yang sangat luar biasa yaitu kelapa sawit, kakao, karet, kopi, dan lainnya. Perlu adanya regulasi perlindungan komoditi yang strategis melalui perundang-undangan,” katanya.
Firman mencontohkan negara lain seperti Amerika memiliki UU untuk melindungi komoditi pangan prioritas jagung, kopi. Turki juga memiliki UU untuk melindungi tembakau. Jepang ada memiliki UU Perberasan sehingga ada perlindungan ketika ada gejolak ekonomi pangan. Begitu juga Malaysia yang sudah mempunyai UU Perkelapa sawitan, padahal luas lahan kebun sawit tak lebih besar dibandingkan Indonesia.
“Kontribusi sawit sangat besar terhadap kehidupan global, karena nabati dari sawit sangat besar potensinya ketimbang produksi nabati dari biji bunga matahari. Itulah kenapa Eropa ketakutan dengan Indonesia yang punya potensi besar minyak sawit. Kenapa Indonesia tidak punya undang-undang yang khusus melindungi komoditi strategis? Inilah yang semestinya harus menjadi perhatian kita bersama,” cetusnya.
Tantangan lainnya, lanjut Firman, yaitu besarnya jumlah lahan yang masih dikelola masyarakat. Luasnya mencapai 6,8 juta ha, lebih besar ketimbang yang dikelola perusahaan. Namun, segi dari produktivitas lahan sawit yang dikelola masyarakat justru jauh lebih sedikit dibandingkan produksi kebun sawit oleh perusahaan.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 142)