Indonesia diperkirakan mencapai produksi sawit 100 juta ton pada 2045. Ada potensi menjadikan komoditas emas hijau ini sebagai bahan bakar pesawat terbang.
Salah tantangan yang dihadapi industri penerbangan adalah jejak emisi karbon yang ditinggalkannya selama perjalanan udara. International Air Traffic Association (IATA) memproyeksikan permintaan perjalanan penumpang udara diperkirakan melebihi 10 miliar pada 2050. Dengan jumlah tersebut, perkiraan emisi karbon pada tahun 2021-2050 dengan kondisi berjalan seperti biasa sekitar 21,2 gigaton CO2.
Secara global, sektor industri penerbangan menghasilkan 2,4 persen dari semua emisi CO2 yang tercatat pada 2018. Industri ini saat ini juga menghasilkan 1,9% dari keseluruhan emisi gas rumah kaca dunia. Saat ini, IATA berupaya melakukan pengurangan emisi perjalanan udara sebesar 50% pada 2050 sebagaimana tujuan keberlanjutan PBB.
Kebutuhan bahan bakar nabati di pesawat terbang mulai dikembangkan semenjak 10 tahun lalu. Kelapa sawit termasuk minyak nabati yang menjadi sumber bahan bakar terbarukan bagi pesawat terbang.
“Pengembangan bahan bakar nabati berbasis minyak kelapa sawit akan berdampak baik sebagai bahan bakar pesawat udara yang ramah lingkungan (sustainable aviation fuel),” ujar Chairman Sinar Mas Agro Resources and Technology, Franky Oesman Widjaja saat menjadi pembicara dibertemakan Fuels of the Future for Low Carbon Industri Solution yang digelar Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi bersama KADIN Indonesia.
Dijelaskan Franky Oesman bahwa minyak sawit punya keunggulan dari aspek produktivitas dibandingkan minyak nabati lain. Hingga sekarang, minyak kelapa sawit menjadi minyak nabati paling produktif yang menghasilkan 5 hingga 10 kali lebih banyak per hektar daripada minyak nabati lain yang ada.
“Hanya dengan luasan 8 persen dari total lahan yang digunakan untuk memproduksi minyak nabati, dapat memasok 40 persen dari kebutuhan minyak nabati dunia saat ini,” ujar Franky.
Franky juga memperkirakan produksi minyak kelapa sawit akan mencapai 100 juta ton pada 2045 mendatang. Bagi Indonesia, kelapa sawit ini merupakan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa karena memberikan mata pencaharian bagi 17 juta orang yang sebagian besar di daerah pedesaan.
“Begitupula, kelapa sawit menjadi penopang ekspor Indonesia yang mencapai US$40 miliar pada 2022,” kata Franky.
Menurutnya , Franky mengatakan, Indonesia memiliki potensi besar menangani dampak perubahan iklim melalui pemanfaatan keunggulan sumber daya alam yang dimiliki. Seperti minyak kelapa sawit dan banyak sumber daya alam lainnya, yang dapat dan mesti memainkan peran penting bagi masa depan Indonesia yang rendah karbon.
Saat ini, program B35 telah berjalan sukses yang menjadikan Indonesia sebagai pengguna biodiesel terbesar di dunia. Karena itulah, kata Franky, pengembangan bioavtur menjadi potensi masa depan di dunia penerbangan.
“Dengan bahan bakar penerbangan yang ramah lingkungan ini, kami berharap langit kita bisa menjadi biru kembali. Kita dapat melakukan hal yang sama di angkasa, sebagaimana telah dibuktikan dengan sukses di daratan,” kata Franky.
Namun diingatkan Franky agar penggunaan sawit di bahan bakar juga mempertimbangkan untuk pasokan industri lainnya terutama pangan.” Jadi pangan adalah nomor satu untuk perut dan ketahanan energi menempati posisi kedua, maka saya rasa ini adalah cara yang sangat berkelanjutan dapat dilakukan,” urai Franky.
Pada 2021 lalu, Indonesia telah berhasil melakukan uji coba terbang bahan bakar bioavtur berhasil dilakukan pada pesawat CN-235 Flying Test Bed milik PT Dirgantara Indonesia. Uji coba terbang tersebut menggunakan campuran bahan bakar nabati 2,4 persen yang dicampur dengan avtur. Sebagai informasi, pengujian bioavtur secara akademis telah dimulai di Fakultas Mesin dan Dirgantara ITB sejak tahun 2012 dalam skala laboratorium
Sementara itu, maskapai nasional Garuda Indonesia telah menjajaki penggunaan energi terbarukan bioavtur J2.4, yang merupakan bagian dari pengembangan konsep Sustainable Aviation Fuel (SAF). Bersama Pertamina, Institut Teknologi Bandung (ITB), Kementerian ESDM, dan pemangku kepentingan terkait lainnya, Garuda Indonesia telah menyelesaikan tahap awal uji coba bahan bakar terbarukan tersebut.
Uji coba tersebut melalui uji statis pada mesin pesawat CFM56-7B yang digunakan pada armada B737-800 NG Garuda Indonesia. Uji coba ini kemudian akan dilanjutkan dengan rangkaian uji lanjutan lainnya, yakni berupa uji coba ground test dan flight test.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 143)