JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Ciliandra Fangiono, Pemilik First Resources Ltd, dinobatkan sebagai 50 orang terkaya se-Indonesia versi Majalah Forbes pada 2019. Nilai kekayaannya ditaksir sebesar US$ 1,37 miliar atau Rp 19,3 triliun (kurs Rp 14.000), bersumber dari perkebunan dan bisnis turuna sawit. Saat ini, Ciliandra menjabat sebagai Executive Director and Chief Executive Officer First Resources Ltd, emiten kelapa sawit di Bursa Singapura (SGX).
First Resources Ltd berdiri pada 1992 yang tercatat di Bursa Singapura semenjak 2007. Luas perkebunan sawit yang dikelola perusahaan mencapai 211.823 hektare per 30 September 2019. Perkebunan mereka didukung 15 pabrik pengolahan kelapa sawit. Selain sawit, perusahaan ini mempunyai 6.321 hektare perkebunan karet.
Dari data perusahaan, luas perkebunan sawit yang dikelola perusahaan mencapai 211.823 hektare terdiri dari 181.451 hektare lahan inti (perusahaan) dan 30.372 hektare lahan plasma (petani mitra). Luas lahan plasma tadi baru 15% dari total lahan yang dikelola perusahaan.
Pada tahun 2018, areal perkebunan sawit perusahaan mencapai 210.885 hektare. Terdiri dari 180.172 hektare (inti) dan plasma seluas 30.713 hektare atau sekitar 14% dari total areal perusahaan.
Luas kebun plasma First Resources di bawah 20% sudah berlangsung semenjak 10 tahun lalu. Di saat, pemerintah mendorong pelaku usaha swasta untuk meningkatkan pembangunan kebun petani plasma sebagai mitra perusahaan.
Data First Resources pada 2008, menyebutkan total areal tertanam perusahaan 95.241 hektare. Dari luasan tersebut, lahan inti 84.076 hektare dan plasma 11.165 hektare atau sekitar 11,7% dari total areal. Selanjutnya tahun 2009, luas perkebunan sawit perusahaan 108.917 hektare terdiri dari 96.858 hektare lahan inti dan plasma seluas 12.059 hektare atau 11,07% dari luas tertanam.
Di periode tersebut, pemerintah telah menerbitkan regulasi Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/2007 mengenai Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Aturan ini menyebutkan pembangunan kebun petani (plasma) minimal 20% dari total perkebunan yang dikelola perusahaan.
Setelah itu, Permentan Nomor 26/2017 direvisi menjadi Permentan Nomor 98/2013 yang mewajibkan pembangunan plasma masyarakat setara 20% HGU. Plasma ini dapat dibangun diluar konsesi.
Saat ini, Kementerian Pertanian telah mengatur Peraturan MenteriPertanian Nomor 5/2019 mengenai Tata Cara Perizinan Berusaha Sektor Pertanian. Aturan ini mengatur pembangunan kebun petani paling sedikit 20% dari luas Izin Usaha Perkebunan.
Beberapa waktu lalu, Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB) menyebutkan kewajiban membangun dan bermitra dengan plasma ada sejak tahun 2007 seiring terbitnya Permentan Nomor 26/2007. Permentan itu mengacu kepada UU No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yang mengamanatkan Perkebunan Besar Swasta (PBS) maupun Perkebunan Besar Nasional (PBN) membangun plasma sebesar 20 persen dari luas konsesi. Akan tetapi, kewajiban plasma 20 persen punya telaah dan versi yang berbeda-beda antara instansi. Ada instansi yang mengatur bahwa plasma 20 persen berdasarkan luasan HGU, tapi ada yang mengatur berdasarkan dari luasan areal yang ditanam.