Penanganan kasus kebakaran lahan dan hutan (karhutla) membutuhkan data ilmiah yang bersifat multi pihak. Jangan sampai menggiring opini yang merugikan perekonomian nasional.
“Selama ini pembuktian ilmiah Kementerian LHK menggunakan (argumen) Prof Bambang Hero dan Basuki Wasis. Akhirnya, seolah-olah mereka yang benar saja,” kata Dr.Sadino, Pengamat Kehutanan.
Sebagai informasi, Prof. Bambang Hero adalah Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) yang baru saja meraih John Maddox Prize 2019. Ia memiliki kemampuan di bidang spesialis forensik kebakaran lahan dan hutan. Sementara itu, Dr. Ir. Basuki Wasis dikenal ahli perhitungan kerugian lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB).
“Padahal, banyak juga ahli yang bagus-bagus di bidangnya. Akibatnya, fakta dalam penanganan kasus ini menjadi kurang imbang,” kata Sadino.
Persoalan pembuktian ilmiah dalam penanganan kasus Karhutla mendapat sorotan tajam saat berlangsungnya The 2nd International Conference on Natural Resources Environmental Conservation bertema Industrial Forest and Oil Palm Plantation Fire, Impacts and Valuation Of The Environmental Losses, di Bogor, Jawa Barat, pada akhir November 2019.
Pembicara yang hadir antara lain Hiroshi Hayasaka dari Arctic Research Center Hokkaido University, Jepang. Roda Jean Marc dan Ong Chu Lee, Universitas Putra Malaysia, Lulie Melling, Goh Kah Joo, dari Serawak Tropical Peat Risearch Institut, Rini Astuti dari Asia Research Institut, Nasional University of Singapore, dan sejumlah peneliti Indonesia lainnya dari berbagai perguruan tinggi, termasuk Prof Yanto Santoso dan Pakar hukum kehutanan dan Lingkungan hidup, Dr Sadino dan Iwan Hilman dari Departemen Silvikulture Fakultas Kehutanan IPB Bogor.
Mereka mempertanyakan tingkat akurasi data yang dijadikan pertimbangan pengadilan dalam memutus perkara Karhutla, Kebakaran Hutan dan Lahan, di sejumlah perusahaan perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri. Sebab ini akan berdampak terhadap kelangsungan ekonomi nasional, kalangan perusahaan bukan hanya jera, tapi hengkang dari Indonesia.
“Sejatinya putusan pengadilan itu merujuk pada data penelitian banyak ahli, minimal dua atau tiga hingga hakim memutuskan dengan sumber data yang benar benar bisa diakui semua pihak,” kata Dr Sadino, pakar hukum lingkungan dan Kehutanan.
Dalam Internasional Conference On Natural Resources and Environmental Conservation yang dibuka resmi oleh Deputi Menko Perekonomian Musdalifah Machmud, peserta berkesepakat menjadikan scientific evidence atau pembuktian ilmiah sebagai dasar dari legal evidence (bukti hukum) dalam penyelesaian perkara kebakaran hutan dan lahan.
Sejatinya, kata Dr Sadino, hakim pengadilan mendengarkan ahli peneliti lain sebagai pembanding dalam menilai kerusakan ekosistem akibat dari Karhutla.
“Coba sejauh mana logikanya dari nilai kerugian yang diputus pengadilan sekitar Rp 350 miliar yang harus dibayar, sekitar Rp 150 miliar itu untuk pembelian kompos, ” tandasnya.
Musdalifah Mahmud, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengatakan, pihaknya setuju dengan penegakan hukum dalam penyelesaian kasus karhutla, namun penyelesaiannya di persidangan tetap harus melalui bukti ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan.
“Scientific evidence sangat penting sebagai dasar penyelesaian sengketa kahutla agar putusan hukumnya punya rasa keadilan. Selama bertahun-tahun, penyelesaian karhutla hanya sepihak yakni menggiring opini bahwa perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri sebagai penyebab utama karhutla,” kata Musdalifah.
Musdalifah, karhutla di Indonesia tidak terkait dengan pembukaan lahan sawit. Selain faktor manusia, bencana alam seperti el Nino serta peran dari tanggung jawab pengelola kawasan menjadi penting dalam penanganan karhutla.
Selama ini, ungkap Musdalifah hanya karena sentimen kelompok tertentu, semua kesalahan ditimpakan pada satu pihak yakni industri sawit. Pihak-pihak ini perlu memahami bahwa Indonesia perlu membangun aktivitas industrinya melalui sawit untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. “Sebagai pemerintah saya punya kepentingan untuk menjaga pertumbuhan sawit nasional,” kata Musdalifah.
Musdalifah mengusulkan agar penyelesaian karhutla bisa diprioritaskan pada deteksi dini (early warning) dan pencegahan. Kalau melihat polanya, umumnya karhutla terjadi dalam 3-4 bulan dalam setahun.Seharusnya 8 bulan tersisa dimanfaatkan untuk membangun kluster pengendalian karhutla dengan melibatkan masyarakat.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 98)