Tahun 2015 yang lalu Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) secara resmi meluncurkan platform pembangunan dunia yang dikenal sebagai Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals, SDGs) dan diberlakukan 15 tahun ke depan mulai 2016-2030. Platform baru tersebut yang ditandatangani oleh 193 negara anggota PBB termasuk Indonesia, merupakan kelanjutan dari platform pembangunan Millenium Development Goals (MDGS) yang menjadi pemandu pembangunan global 2000-2015.
Berbeda dengan MDGs yang driver utamanya adalah pemerintah, pada SDGs ini yang juga dikenal sebagai sharing economy, digerakkan sinergitas global (global partnership), sinergitas nasional (kebijakan pemerintah dengan industri/daerah), sinergitas daerah (sinergitas dunia usaha dengan masyarakat) dan kreatifitas perusahaan. Oleh karena itu, SDGs tersebut perlu diterjemahkan (delivering) mulai pada level nasional, sektoral/daerah, dan level perusahaan.
Indonesia sebagai bagian dari masyarakat global dan pendukung SDGs ini, saat ini sedang menterjemahkan SDGs tersebut pada level nasional yang kini sedang digodok Kementerian-Kementerian. Sebagai industri strategis nasional, industri sawit nasional perlu secara proaktif dan memposisikan diri sebagai bagian solusi yang berkontribusi pada pencapaian tujuan-tujuan SDGs baik level dunia, nasional, daerah/industri maupun level nasional.
Paradigma “Jalan Tengah”
Platform SDGs sebagai platform pembangunan dunia, merupakan pilihan “jalan tengah” (midway) yang mempersekutukan paradigma developmentalist dengan paradigma environmentalist. Sejak revolusi industri pertama (industry Revolution 1.0) tahun 1784 dan kemudian disusul revolusi pertanian (green revolution 1.0) tahun1950-an hingga saat ini, arus utama (mainstream) pembangunan disetiap negara mengadopsi paradigma pembangunan ekonomi (developmentalist). Menurut pandangan ini, pertumbuhan ekonomi yang setinggi mungkin merupakan cara yang paling tepat untuk mensejahterakan masyarakat. Sumberdaya alam harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Paradigma yang demikan diadopsi daratan Eropa (sejak abad 11) maupun Amerika Utara (sejak abad 16) yang melakukan deforestasi total seluruh hutan mereka. Hutan asli (virgin forest) di Eropa dan Amerika Utara yang tersisa saat ini kurang dari 3 persen (Soemarwoto 1984).
Dipihak lain juga berkembang paradigma environmentalist yang dimotori oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berpandangan bahwa pertumbuhan ekonomi bukanlah cara untuk mensejahterakan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga menyebabkan kehancuran sumberdaya alam dan lingkungan yang akhirnya mensengsarakan masyarakat. Sumberdaya alam dan lingkungan harus dipertahankan sebagai sumber kesejahteraan masyarakat.