“Ke depan, model bisnis kelapa sawit harus berbasis pada kemitraan. Untuk itu, perlu dimulai dengan komitmen dari perusahaan,” ujar Fadhil Hasan.
Asian Agri mempunyai komitmen kuat dalam membangun kemitraan bersama petani. Pola kemitraan yang dibangun Asian Agri dalam upaya mewujudkan kesejahteraan bersama secara berkelanjutan. Kemitraan melibatkan berbagai komponen antara lain perusahaan, petani plasma dan swadaya.
Dalam seminar yang bertemakan “Membangun Kemitraan Pelaku Sawit Untuk Kesuksesan ISPO” pada akhir Maret 2018 di Jakarta, Fadhil Hasan berbagi pengalaman dan pengetahuan mengenai pelaksanaan pola kemitraan Asian Agri dengan petani plasma dan swadaya.
Hingga tahun ini, luas perkebunan sawit milik perusahaan mencapai 100.000 ribu hektar. Sementara itu, perusahaan juga bermitra dengan petani plasma seluas 60.000 hektar. Melalui komitmen kemitraan 1:1 (One to One), target Asian Agri dapat menggandeng petani plasma dan swadaya seluas 100.000 hektar pada tahun 2018. Saat ini Asian Agri menjalin kemitraan dengan petani plasma yang memiliki total perkebunan seluas 60.000 hektar dan akan terus memperluas kemitraan dengan petani swadaya hingga mencapai total 40.000 hektar kemitraan pada tahun 2018. Saat ini kemitraan dengan petani swadaya telah mencapai lebih dari 31.000 hektar.
Fadhil Hasan Corporate Affairs Director Asian Agri mengutarakan pihaknya melihat adanya potensi yang diperoleh dan manfaat menjadikan bisnis model bagi perusahaan dengan kemitraan agar sama-sama berkembang.
“Perjalanan kemitraan yang dilakukan Asian Agri diinisiasi dan didorong pemerintah PIR-Trans. Pada tahun 80-an ada kewajiban perusahaan untuk mengelola perkebunan dan mengembangkan bahkan diberikan subsidi kredit. Namun, di waktu yang sama penerapan kemitraan petani dengan berbagai skema koperasi antara lain Kredit Tanpa Agunan (KTA) dan seterusnya,” ujarnya.
Ada sejumlah tantangan yang dihadapi petani peserta transmigran. Sebagai contoh, petani belum punya kompetensi mengembangkan tanaman perkebunan melainkan tanaman pangan. Adapula masalah infrastruktur, informasi, dan budidaya pertanian.
Untuk itu, dalam membangun kemitraan membutuhkan tenaga yang berkelanjutan menjadi poin penting dalam mencapai keberhasilan Asian Agri bersinergi dengan petani. “Tapi yang lebih penting sebenarnya komitmen kemitraan menjadi bisnis model bukan sebagai program Corporate Social Responsibility (CSR). Bagi kami, pola ini harus saling menguntungkan,” terang Fadhil saat di acara seminar ISPO.
Fadhil Hasan telah malang melintang dalam dunia riset ekonomi terutama pertanian. Dia menamatkan studi S-1 di Institut Pertanian Bogor. Gelar S-2 studi ekonomi diselesaikan di Universitas Iowa. Selanjutnya, dia meraih gelar Doktor dari Universitas Kentucky program studi Ekonomi Pertanian.
Dalam pandangan Fadhil Hasan, pola kemitraan haruslah saling menguntungkan supaya kerjasama ini dapat berkelanjutan. Untuk memberikan pendampingan dan pengawasan, Asian Agri mempunyai 300 staf yang terjun ke perkebunan petani mitra.
Fadhil mengakui hubungan kemitraan antara perusahaan dengan petani berjalan fair dan transparan. Hasil pendapatan petani yang telah menjalin kemitraan dengan Asian Agri lebih tinggi dibanding petani non sawit. “Tidak hanya itu, kualitas hidup petani juga lebih baik. Dan, dampak sosial ekonomi pada masyarakat lokal juga terlihat yaitu jika mendapatkan premium price dikembalikan ke petani dalam bentuk infrastuktur ke desanya,” tambahnya.