Proses penyusunan rencana aksi bersama di berbagai tingkat tengah berjalan yang bertujuan untuk mengurai permasalahan industri kelapa sawit agar industri kelapa sawit berkelanjutan dapat terwujud.
Musdhalifah Machmud, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI mengakui permasalahan kelapa sawit berkelanjutan memang cukup kompleks dan saling tumpang tindih. Hal itu, diutarakan pada Lokakarya Sinergi Rencana Aksi Forum Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (FOKSBI), pada Akhir Februari lalu, di Jakarta.
Untuk itu, Musdhalifah, mengharapkan FOKSBI dapat membantu proses penyusunan rencana aksi bersama di berbagai tingkat, sehingga permasalahan kelapa sawit berkelanjutan bisa diurai dan diselesaikan satu per satu.
“Dalam pelaksanaannya, setiap daerah – baik di tingkat provinsi maupun kabupaten harus mampu mengidentifikasi dan membuat implementasi program yang paling sesuai dengan kondisi di daerah masing-masing. Selain itu, perlu dukungan dari sektor terkait, rencana aksi juga memerlukan dukungan dari sektor lainnya. Hal ini penting agar kelapa sawit tidak hanya berkontribusi terhadap ekonomi nasional, tetapi dapat meningkatkan kesejahteraan petani di Indonesia secara nyata,” ujarnya.
Agar implementasi pembangunan kelapa sawit berkelanjutan dapat berjalan secara optimal diperlukan langkah bersama. Mulai dari Rencana Aksi Nasional (RAN), Rencana Aksi Provinsi dan Rencana Aksi Kabupaten (RAK) untuk mempercepat implementasi pembangunan kelapa sawit berkelanjutan.
Hal senada juga disampaikan Vera Virgianti, Kepala Bidang Perkebunan Provinsi Riau. Pihaknya menyadari permasalahan sawit membutuhkan kerja sama dan dukungan dari sektor lain, mulai dari kehutanan, ketenagakerjaan, dan lainnya.
“Maka, untuk menyelesaikan permasalahan sawit diperlukan wadah seperti FOKSBI. Selain itu, perlu ada regulasi tertinggi untuk memastikan semua rencana aksi yang sudah disusun dapat berjalan dengan baik. Regulasi tersebut dapat menjadi payung hukum dalam mengatur sinkronisasi berbagai regulasi yang dikeluarkan oleh berbagai instansi, sehingga selaras dan tepat guna bagi para pelaku di lapangan,” jelas Vera.
“Dan, perlu ada faktor pendukung rencana aksi lainnya untuk memastikan penganggaran dana program, serta memastikan adanya integrasi program dengan Rencana Program Jangka Menengah Daerah (RPJMD) agar kelapa sawit berkelanjutan benar-benar terwujud,” tambah Vera.
Lebih lanjut, Vera menambahkan Riau memiliki hampir 1,3 juta hektar perkebunan kelapa sawit yang saat ini masih didata secara lengkap agar bisa menjadi bagian dari rencana aksi provinsi untuk pengembangan kelapa sawit berkelanjutan. Kebutuhan terhadap pendataan ini sangat penting karena merupakan landasan untuk melakukan berbagai intervensi untuk pengembangan kelapa sawit berkelanjutan ke depannya.
Saat ini, FOKSBI daerah sudah terbentuk di tiga provinsi yaitu Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Barat ketiganya masih dalam proses finalisasi RAP oleh masing-masing provinsi. Sementara itu, di tingkat kabupaten yang tergabung dalam FOKSBI yaitu Pelalawan, Sintang, dan Tapanuli Selatan, kedua kabupaten terakhir sudah rampung menyusun RAK. Semua rencana aksi memuat konteks permasalahan, tujuan, program kegiatan dan indikator keluaran yang diharapkan untuk memastikan perkembangan implementasi di setiap tingkat pemerintahan menuju kelapa sawit berkelanjutan serta pemantauan dan koordinasi lintas sektor berjalan dengan baik.
Provinsi yang sudah menyiapkan draf RAP antara lain provinsi Sumatera Utara, Riau dan Kalimantan Barat. Untuk, Provinsi Sumatera Utara menekankan pada pengembangan kapasitas pekebun kelapa sawit yang berkontribusi pada sekitar 32% produksi Crude Palm Oil (CPO) data dari Disbun Sumut, 2017.
Untuk mendukung pencapaian target pemerintah provinsi, bahwa pada 2023 setidaknya 70% hasil sawit Sumatera Utara sudah memenuhi persyaratan kelapa sawit berkelanjutan. Upaya pengembangan kapasitas dimulai dari pendataan informasi dasar yang akurat tentang jumlah dan lokasi kebun, peningkatan dan kepatuhan terhadap peraturan dan kebijakan terkait kelapa sawit berkelanjutan di tingkat provinsi dan kabupaten, peningkatan koordinasi antar lembaga pemerintah terkait pengelolaan perkebunan sawit berkelanjutan serta peningkatan penegakan hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan.
Sementara, provinsi Riau secara serius menyusun draf RAP yang memiliki luasan perkebunan kelapa sawit terluas di Indonesia yaitu sekitar 21% dari total luas perkebunan kelapa sawit Indonesia serta berkontribusi terhadap 27% produksi CPO Indonesia. RAP ini akan diimplementasikan terutara di 12 kabupaten/kota penghasil kelapa sawit di Indonesia, di antaranya Pelalawan, Bengkalis, Indragiri Hulu, Kampar, Kuantan Singingi, Rokan Hilir, Rokan Hulu, Siak Kepulauan Meranti, Dumai dan Pekanbaru. RAP ini akan menegaskan koordinasi antar lembaga, akses pendanaan dan penegakan hukum serta upaya strategis peningkatan kapasitas pekebun dan peremajaan tanaman.