JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) mendukung niatan pemerintah untuk mempercepat dan meningkatkan realisasi Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) menjadi 500 ribu hektare. Salah satunya membenahi manajemen Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit.
“Kami sangat mendukung ide dan strategi Menko Airlangga. Kunci percepatan PSR adalah BPDP-KS harus berani keluar dari zona nyaman. Keluar dari zona nyaman ini harus didukung oleh semua pihak. Khususnya mengubah peran dan fungsi BPDP melalui perpres,” Sebenanya dalam regulasi sekarang ini saja BPDPKS sudah seharusnya berani keluar dari zona nyaman, sepanjang itu penugasan BPDP-KS, ujar Ir. Gulat Manurung, MP, Ketua Umum DPP APKASINDO.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan peremajaan sawit rakyat ditargetkan 500 ribu hektare. Sebab, Pemerintah ingin Program peremajaan sawit rakyat (PSR) dapat mengamankan pasokan industri hilir kelapa sawit, termasuk mandatori penggunaan biodiesel campuran 30 persen (B30). Salah satu fokus peremajaan perkebunan sawit melalui integrasi antara kebun dan pabrik pengolahan minyak sawi.
Sementara itu, Menko Maritim dan Investasi Luhut menyebutkan jika PSR mandek, maka rencana menuju B100 dapat terancam. Rantai pasok bahan baku TBS untuk industri biodiesel tidak bisa bergantung 100% kepada korporas. Sebab, porsi kebun rakyat sebesar 42% merupakan supporting utamanya.
Jadi BPDP-KS dan Dirjen Perkebunan jangan main-main dengan target PSR in. Apalagi sudah ada RAN Kelapa Sawit Melalui Inpres nomor 6 tahun 2019 yang sangat mendukung industri kelapa sawit Indonesia.
Untuk itu, pemerintah akan merevisi aturan yang berkaitan dengan pokok penugasan BPDP-KS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) dan hal ini kabarnya sedang dibahas. “Harus digesa perubahan peraturan presiden (perpres) penugasan BPDP itu sendiri, biar lebih kencang kecepatannya sesuai harapan dari Presiden Jokowi. Jadi yang pertama, selesaikan perpres BPDP agar replanting jadi tugas BPDP, tidak terlampau banyak tangan instansi lain” ujar Gulat.
Gulat mengatakan BPDP-KS selama ini enggan keluar dari zona nyaman yang mengakibatkan kinerjanya kurang optimal bagi kepentingan petani sawit. “Kalau tidak berani keluar dari zona nyaman, silahkan keluar dari BPDP-KS. Ada 6,3juta Petani sawit sangat berharap kepada kinerja BPDPKS,” pinta Kandidat Doktor Ilmu Lingkungan ini.
DPP APKASINDO, kata Gulat, mendukung Presiden Jokowi yang sudah membuat program sawit untuk rakyat melalui PSR dan sarana prasarana yang dibiayai BPDP-KS. Seharusnya, lembaga ini wajib sekuat tenaga mensukseskan program ini. “Tidak cukup, BPDP-KS hanya berkunjung ke luar negeri dengan alasan diplomasi sawit. Tapi, selesaikan tugas pokok dalam negeri,” tegas Gulat.
“Jangan sebatas mencari alasan dan menyalahkan lembaga ataupun kementerian lain. Lalu, berdalih fungsi BPDPKS sebagai juru bayar,” keluhnya.
Ia mengatakan sejak berdirinya BPDP-KS ternyata realisasi program sarana prasarana (sarpras) masih nol persen. Padahal, program sarpras ini sangat strategis, meliputi bantuan pupuk, infrastruktur kebun petani sawit. Sudah sejak 3 tahun lalu, harga TBS petani tidak menentu sehingga petani mengalami kesulitan dan tidak sanggup membeli pupuk. Alhasil, kegiatan pemupukan sawit petani tidak dilakukan sama sekali.
“Akibatnya seperti sekarang ini, dimana harga TBS naik tetapi produksi petani anjlok, ini sifat fisiologis sawit, tanpa pupuk sawit tidak akan pernah produktif dan berdampak tahunan dan sangat panjang efek tanpa pemupukan tadi, ” tuturnya.
Ia meminta BPDP-KS harus bertanggungjawab dan meminta maaf kepada 6,3 juta petani sawit karena dana pungutan yang dikelola BPDP-KS itu juga hak Petani.
“Secara tidak langsung setiap dana pungutan 50 dolar per ton, maka akan mengurangi Rp 90- Rp 120 per kilogram harga TBS yang diterima petani,” ujarnya.
Seharusnya ketika harga sawit rendah dan petani tidak berdaya membeli pupuk. Seharusnya, BPDPKS turun membantu petani melalui dana sarpras yang dialokasikan sekitar 180 miliar rupiah, tapi sampai hari ini masih Nol Persen Penggunaannya” ujarnya.
APKASINDO tidak berkeberatan dan mendukung penuh dana pungutan tersebut, karena tujuannya sangat mulia.
Gulat mengatakan persoalan ini harus dievaluasi dan perlu membenahi manajemen BPDP-KS. Jika tidak terselesaikan, maka kinerjanya akan terganggu sebagaimana amanat Perpres 61/2015 jo. Perpres 24/2016 jo, . Perpres 66/2018.
“Pemerintah itu memberikan tugas kepada BPDPKS untuk menghimpun, mengembangkan, dan menggunakan dana perkebunan sawit bagi kemaslahatan industri sawit,” jelasnya.
“Awalnya dana BPDPKS memang difokuskan memperkuat industri biodiesel dengan serapan dari total DP mencapai 90%. Tapi saat ini harga minyak bumi di atas Biodiesel tidak perlu lagi supporting, praktis dana BPDPKS itu fokus tujuan program lainnya,” jelasnya.
BPDPKS resmi menjadi Badan Layanan Umum dan penetapan organisasi dan tata kerja Badan tersebut melalui Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 113/PMK.01/2015 tanggal 11 Juni 2015. Pembentukan dilakukan sebagai pelaksanaan amanat pasal 93 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yakni menghimpun dana dari pelaku usaha perkebunan atau lebih dikenal dengan CPO Supporting Fund (CSF) yang akan digunakan sebagai pendukung program pengembangan kelapa sawit yang berkelanjutan.
Program pengembangan kelapa sawit berkelanjutan memiliki beberapa tujuan, yakni: mendorong penelitian dan pengembangan, promosi usaha, meningkatkan sarana prasarana pengembangan industri, pengembangan biodiesel, replanting, peningkatan jumlah mitra usaha dan jumlah penyaluran dalam bentuk ekspor, serta edukasi sumber daya masyarakat mengenai perkebunan kelapa sawit.