Stephens dan Speir (1969), berdasarkan hasil kajian mereka pada lahan gambut di Florida, menyimpulkan bahwa apabila pada lahan tersebut dibuat parit dengan ukuran yang sesuai untuk lahan gambut kemudian dipupuk dengan undur hara makro dan mikro secara tepat waktu dan sesuai dengan kebutuhan tanaman, lahan gambut akan menjadi bermanfaat untuk usaha pertanian. Saluran yang direncanakan dan yang dibuat harus mampu mempertahankan kondisi bahan gambut dalam keadan tidak terlalu kekeringan dan tidak terlalu jenuh air. Artinya kadar air dalam bahan gambut harus cukup.
Menunjukan Batas Kritis Air di Dalam Bahan Gambut (Sabiham,2000)
Tingkat dekomposisi | Gambut Jambi-Sumatera | Gambut Kalimantan Tengah | ||||
Marin | Payau | Air Tawar | Marin | Payau | Air Tawar | |
Fibrik | 336,8-450,9 | 316,5-423,7 | 308,9-413,5 | 290,6-388,9 | 273-365,5 | 346,6-464 |
Hemik | 165,2-221,6 | 245-327,9 | 318,3-426,5 | 202,7-271,4 | 178-238,3 | 191,7-256,6 |
Saprik | 186,8-250 | 280,6-375,7 | 238,2-318,9 | 192-257 | 224,4-300,4 | 232-310,6 |
Tabel 1. Batas kritis kadar air (%) gambut Jambi, Sumatera dan Kalimantan Tengah.
Catatan: Dibawah batas kritis, bahan gambut tidak mampu menyerap air kembali.
Sumber: Desain Penglelolaan Lahan Gambut Untuk Mendukung Pruduktivitas Pertanian Berbasis Perkebunan, Prof. Dr. Supiandi Sabiham