Faktor cuaca sangat mempengaruhi produktivitas sawit. Lamanya waktu penyinaran matahari dan intensitas curah hujan harus diperhatikan pelaku usaha perkebunan.
Untuk melihat peluang produktivitas kelapa sawit dapat dilihat dari berbagai aspek. Salah satunya dari aspek agro klimatologi. Di dalam agroklimatologi, ada beberapa spek yang berpengaruh terhadap tanaman sawit di antaranya curah hujan, radiasi matahari, anomali curah hujan, lama penyinaran dan suhu udara berpengaruh pada produktivitas tanaman kelapa sawit. Hal ini diungkapkan Nuzul Hijri Darlan, S.P, M.Si Peneliti Muda Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), pada Webinar Zoom #Bincang Pakar, pada 21 Februari 2021.
Dikatakan Hijri, meski ada beberapa faktor penentu produktivitas kelapa sawit tidak hanya pengaruh iklim saja, melainkan faktor lahan, genetik, manajemen panen, kultur teknik. “Dasar produksi yang perlu dicapai adalah genetik yang menjadi kunci produktivitas sawit. Jadi, kalau bahan tanaman sudah keliru maka produktivitas tidak akan optimal walaupun di tanam di lahan S1, manajemen panen dan kultur teknisnya sudah baik,” ujarnya.
Seperti diketahui, produksi kelapa sawit merupakan hasil interaksi dari berbagai faktor produksi mencakup iklim (curah hujan, radiasi matahari, suhu), lahan (topografi, drainase, kesuburan, sifat fisik tanah, konversi tanah),genetik (bahan tanaman), manajemen panen (tata carapanen, pengangkutan jalan dan prasarana panen, pengolahan) dan kultur teknis (pemeliharaan tanaman, pengendalian hama dan penyakit), pemupukan).
Selanjutnya, Hijri menambahkan pada intinya faktor penentup roduktivitas kelapa sawit tidak hanya faktor genetik saja melainkan semua faktor bergabung dan kolaborasi saling mempengaruhi untuk mencapai produktivitas yang optimal.
“Dan, mengapa iklim juga menjadi penting dalam menentukan produktivitas, karena iklim hanya given yang sifatnya hanya menerima sedangkan 4 faktor yang lain (lahan, genetik, manajemen panen dan kultur teknis) bisa kita pengaruhi,” lanjutnya.
Kendati ada faktor lain selain iklim yang dapat mempengaruhi produktivitas kelapa sawit. “Tetapi, pada kesempatan kali ini saya akan fokus membicarakan aspek agroklimatologi dari unsur iklim,” tegas Hijri.
Namun, sebelum menjelaskan lebih jauh. Kita akan diajak untuk flash back pada fase produktivitas kelapa sawit dimulai dari terbentuknya daun hingga ada Tandan Buah Segar (TBS) kurang lebih 40-44 bulan. Munculnya daun tombak juga sudah membawa bakal buah.
Selama proses tersebut ada tiga fase kritis yang akan mempengaruhi proses perkembangan daun sebagai bakal munculnya bunga hingga buah sawit. Fase I (Sex Determination) jika terjadi cekaman hara dan iklim pada fase kritis maka akan mengurangi jumlah potensi tandan yang pada umumnya bisa mencapai 140 – 150 tandan/hektar.
Tetapi jika terjadi cekaman dalam selang waktu 10-20 minggu maka akan terinisiasi berpotensi mempengaruhi jumlah tandan. Fase ini akan menentukan jumlah tandan yang akan dipanen.
Kemudian, Fase II (Inflorescence) terjadi pada usia 28-33 minggu, jika terjadi cekama pada faseini, akan berpotensi 20 jumlah tandan. Karena pada fase ini permulaan pertumbuhan dan perkembangan organ pembungaan. Apalagi jika terjadi kekeringan maka berpotensi aborsi, secara tidak langsung akan mengurangi jumlah tandan yang akan dipanen.
Setelah fase kritis II sudah lewat, masih ada fase kritis berikutnya. Sudah jadi tandan. Jika terjadi kekeringan pada fase III (Bunches Failure) bisa gagal panen. Tandan tidak brondol sehingga pemanen tidak tahu buah sudah matang atau belum. Kurang lebih seperti ini, proses mulai dari daun pertama (tombak) hingga tandan buah bisa dipanen. Jadi, ini fase kritis yang perlu diperhatikan.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 112)