Sabtu pagi (27 April 2024), Pemimpin Redaksi, Majalah Sawit Indonesia, Qayuum Amri berkesempatan ngobrol santai via video call dengan Dr. Purwadi, Direktur Ekskutif Pusat Sains Kelapa Sawit Instiper, Rektor INSTIPER periode 2009-2019.
Obrolan santai tapi berisi, terkait dengan prospek sawit tahun 2024-2025 dan pada pada kesempatan ini kami banyak berbincang terkait perkembangan SDM dan beasiswa sawit. Berikut ini petikan wawancaranya:
Q: Pagi Pak Pur, selamat Idul Fitri mohon maaf lahir batin
P: Pagi, sama-sama, mohon maaf lahir batin, salam #nOl-nOl# untuk semuanya
Q: Pak Pur, tahun ini beasiswa sawit naik 50 % dari 2000 orang pada tahun 2023 dan 3000 orang tahun 2024 nanti. Bagaimana pendapat Bapak?
P: Lha ini tentu patut disyukuri, program beasiswa ini dimulai pada tahun 2015-2016 dengan hanya 300 orang untuk program Diploma satu, dan tahun 2024 ini akan dibiayai 3000 peserta beasiswa baru. Tidak hanya diploma satu, melainkan adapula diploma tiga, diploma 4 dan S1. Demikian pula program studi dan kompetensi yang akan disiapkan. Kebutuhan SDM ini masih sangat besar dan karenanya perlu terus ditambah.
Q: Apakah dengan prodi yang banyak ini juga sudah sesuai kebutuhan SDM sawit ke depan?
P: Sebenarnya Ditjenbun dan atau BDPKS sudah pernah membuat roadmap kebutuhan SDM ini, namun dengan perkembangan kebutuhan kompetensi barangkali perlu dikaji ulang. Roadmap itu barangkali sudah dibuat 5-7 tahun yang lalu dan kondisi perkebunan baik isu-isu pembangunan maupun perkembangan teknologi sudah berkembangan dan kebutuhan kompetensi juga sudah perlu penyesuaian? Apakah perkembangan jumlah ini juga sudah memikirkan output dan outcome kebutuhan kompetensi ini? Planters, para profesional perkebunan selalu bilang “Planters Bukan Sarjana Pertanian Biasa”, dan itu menyiratkan bahwa mencetak planter itu berbeda dengan mencetak sarjana pertanian pada umumnya, apalagi ini lebih fokus lagi pada industri sawit? Demikian juga dengan kebutuhan SDM untuk pabrik Kelapa sawit? pengolahan kelapa sawit? dan beberapa kebutuhan SDM di industri sawit lainnya.
Q: Apakah selama ini output dan outcome hasil program pendidikan ini sudah sesuai kebutuhan kompetensinya?
P: Begini, program ini sejak awal dirancang untuk memenuhi kebutuhan SDM di industri dan bisnis perkelapasawitan karena disadari bahwa SDM merupakan salah satu “driver” dalam pengembangan daya saing dan keberlanjutan bisnis kelapa sawit. Program ini kebetulan diinisiasi bersama beberapa lembaga: Instiper, BPDPKS, DitjenBun, GAPKI, Apkasindo, tepatnya 17 Agustus 2015 di Yogyakarta. Dan saat itu memang yang memperoleh fokus adalah penyediaan SDM untuk petani melalui kelembagaan petani. Oleh karenanya diawal program SDM ini, APKASINDO banyak terlibat di dalamnya. Kenapa fokusnya pembangunan perkebunan rakyat? Karena perkebunan rakyat perlu “bantuan” pemerintah untuk membangun kapasitasnya melalui kelembagaan petaninya. Jadi SDM yang dikembangkan diharapkan bisa mengangkat keragaan perkebunan rakyat. Pertanyaannya apakah hasil program ini sudah memenuhi tujuan?
Q: Bukankah kebutuhan SDM sawit juga untuk perkebunan besar dan juga pabrik dan industri pengolahan?
P: Betul, saat itu asumsinya bahwa perkebunan besar, industri skala besar akan dan pasti bisa memenuhi kebutuhan SDM nya secara mandiri. Oleh karenanya prioritas awalnya untuk membantu kebutuhan peningkatan kapasitas petani melalui kelembagaan petani. Bahwa saat ini akhirnya digunakan memenuhi kebutuhan perkebunan besar dan industri ikutannya, tidak masalah? Namun saya pikir tujuan dan target pengembangan kapasitas perkebunan rakyat perlu memperoleh prioritas utama.
Q: Apakah saat ini sudah ada evaluasi dari output dan outcome program ini?
P: Saya belum tahu, tapi sepertinya belum dilakukan, dan apabila belum dilakukan sebaiknya sambil menambah jumlah beasiswa perlu dilakukan kajian hal ini.
Q: Bagaimana mengukur output dan outcome
P: Lakukan survey dan kajian, apakah lulusan program ini memenuhi kompetensi riil kebutuhan? Kalau kompetensi sesuai kebutuhan tentunya lulusan ini langsung terserap di dunia kerja, selanjutnya lulusan itu mampu berkarier dengan baik saat bekerja. Inti dari ini program pendidikan itu bukan sekedar output dimana seseorang memperoleh ijazah dan barangkaali sertifikat karena telah memenuhi capaian pembelajaran yang dilakukan oleh perguruan tinggi.
Semua perguruan tinggi akan melakukan proses pendidikan melalui kurikulum dan proses pembelajaran sesuai standar pendidikan yang telah ditentukan? Namun capaian pembelajaran tidak selalu linier dengan kompetensi riil yang dibutuhan dalam dunia kerja, istilah umumnya adalah “lulusan siap kerja”. Oleh karena itu maka indikator utama evaluasi kinerja beasiswa ini adalah seberapa besar lulusan yang diterima di dunia kerja persawitan dan selanjutnya dilihat apakah mereka akhirnya juga mampu berkarya dengan baik, yang ditunjukan oleh karier mereka.
Q: Ini menarik untuk didalami, bagaimana sebenarnya proses pendidikan bisa memenuhi kebutuhan kompetensi dan siap kerja?
P: Sebagian besar perguruan tinggi akan melakukan proses yang sama, karena ada regulasi pemerintah terkait pelaksanaan pendidikan di perguruan tinggi. Selalu ada serangkaian kurikulum, dosen, sarana pendidikan? Kecenderungan pendidikan yang sama (misal pertanian) cenderung memiliki kurikulum yang generik dan sama, demikian juga kompetensi dosen, juga sarana dan prasarana. Maka hasil lulusan juga akan bersifat generik? Apakah selanjutnya bisa memenuhi kebutuhan kompetensi secara khusus? Contoh penting dan utama, misalnya kompetensi dosen dengan kekhususan sawit? Untuk mengembangkan kompetensi khusus ini, membutuhkan proses dan waktu yang lama, setidaknya 5 tahun. Dan yang tidak kalah pentingnya dalam pendidikan adalah pembangunan karakter lulusan, yang dikembangkan melalui budaya dan kultur perguruan tingginya. Mengembangkan pendidikan dengan output dan outcome kompetensi khusus itu tidak sekedar tersedia kurikulum, dosen dan sarana prasarana, namun harus membangun ekosistem lembaga pendidikan yang menjamin proses pendidikan yang mampu mewujudkan capain pembelajaran dengan kompetensi khusus sesuai kebutuhan dunia kerja.
Q: Lha, membangun eksosistem butuh proses, butuh waktu? Bagaimana dengan perguruan tinggi yang ini berminat untuk ikut menyelenggarakan pendidikan sawit?
P: jika target program pendidikan beasiswa sawit ini adalah SDM kompeten, maka perguruan tinggi pelaksana pendidikan perlu mempersiapkan diri untuk membangun eksositem tersebut? DitjenBun dan atau BPDPKS bisa melakukan seleksi, sesuai indikator-indikator yang bisa mewujudkan proses pendidikan untuk membangun kompetensi khusus. Ingat lho, ini “beasiswa dari sawit untuk sawit”. barangkali “track record “ dan reputasi perguruang tinggi juga perlu dijadikan indikator, biar tidak terkesan bagi-bagi seperti manajemen proyek.
Q: Kembali terkait dengan prioritas penyiapan SDM untuk membangun perkebunan rakyat sebagai prioritas, sepertinya saat ini belum terlaksana dengan baik?
P: Betul, saat ini serapan SDM kompetensi sawit di kelembagaan petani masih sangat rendah. Ini bukan karena SDM nya tidak kompeten, bukan kelembagaan petani tidak butuh, masalahnya adalah kelembagaan petani tidak bisa menyerap karena tidak bisa membayar gaji mereka. Karena mereka tidak terserap di kelembagaaan petani maka banyak diserap oleh perusahaan. Untuk itu maka program besasiswa ini harus dikaitkan dan diintegrasikan di “bundling” dengan program-progam peningkatan kapasitas dalam pembangunan perkebunan rakyat, misalnya pengembangan kelembagan petani, program peremajaan sawit rakyat, program bantuan sarpras dan lainnya.
Contohnya: lulusan diploma satu kebun, setelah lulus akan dikaryakan di kelembagaan petani yang memperoleh pembiayaan PSR untuk membantu mereka meningkatkan kapasitasnya, misal untuk 100-200 hektar dibantukan satu SDM dan gajinya selama 3-4 tahun dibantu dari BPDPKS. Setelahnya mereka akan dibiayai oleh kelembagaan petani itu sendiri karena kebun sudah menghasilkan. Atau bantuan SDM ini diberikan kepada kelembagaan-kelembagaan petani untuk meningkatkan keragaan manajemen, kelembagaan kelompok tani dan atau koperasi petani. Ini juga berlaku untuk lulusan-lulusan lainnya baik D3, D4, dan S1 dan tentunya dengan cakupan luasan berkarya yang disesuaikan antara 500-1000 hektar per lulusan.
Untuk efektifas kinerja “bundling” ini, pemerintah perlu membuat platform “Sistem informasi Manajemen Kelembagaan Perkebunan Sawit Rakyat (SIM-KPSR)” sebagai bagian tak terpisahkan dari platform Sistem Informasi Manajemen Pembangunan Perkebunan Sawit Rakyat (SIM-PPSR). SIM-KPSR merupakan platform dan perangkat lunak bersifat generik dan dapat digunakan untuk semua kelembagaan perkebunan sawit rakyat, dengan format yang sama yang dapat menyajikan database lengkap, data pekebun dalam satu kelembagaan. Jika SIM-KPSR ini bisa dibangun, selanjutnya akan menjadi database nasional pada SIM-PPSR dan akan membantu melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program pengembangan kapasitas petani perkebunan sawit rakyat dengan baik, akuntabel, clear and clean.
Barangkali sebagian dana BPDPKS bisa disalurkan untuk membiayai penempatan SDM, lulusan beasiswa sawit, seperti dulu pernah ada program “Sarjana Bangun Desa”, kita bisa “bundling” program SDM Sawit, dengan program PSR, SarPras dan juga pelatihan, sebut saja model bundling program ini “Sarjana Bangun Sawit” Atau sebagian dana pengembangan SDM beasiswa untuk membiayai “bundling’, buat model untuk uji coba di beberapa kelembagaan petani, walaupun sebenarnya dana untuk pembangunan kapasitas perkebunan rakyat ini cukup tersedia dan dapat disediakan, ini masalah “keberpihakan” saja.
Q: Berarti program beasiswa SDM sawit ini perlu diintegrasikan dengan program lain, khususnya untuk pembangunan perkebunan sawit rakyat?
P: Ya, agar program tidak bersifat parsial, dan beresiko dan berujung pada kegagalan. Jangan membuat program ini pada saatnya berujung pada pengembangan SDM sawit yang akhirnya berkontribusi menambah pengangguran SDM intelek.