Sebagaimana diuraikan sebelumnya, hutan lindung dan hutan konservasi tersebut sebagian besar merupakan hutan perimer, asli dan dilindungi serta tidak boleh dikonversi kepada penggunaan lain. Pada hutan lindung dan konservasi itulah “rumahnya” biodiversity seperti satwa-satwa liar, ragam tumbuhan dan mikroba, fungsi tata air dan konservasi ekosistem secara keseluruhan.
Hutan yang boleh dikonversi untuk kebutuhan pembangunan adalah hutan produksi khususnya hutan produksi yang dapat dikonversi (Convertibel Forest) dengan prosedur tertentu dan telah diatur dalam Undang- Undang Kehutanan tersebut. Hutan produksi disebut bank lahan (land bank) sebagai persedian lahan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan dan penduduk yang seperti areal perkotaan, pemukiman, industri, pertanian, perkebunan dan lain-lain yang dalam Undang-Undang Tata Ruang disebut sebagai kawasan budidaya.
Proses Konversi hutan produksi menjadi kawasan budidaya oleh pemerintah dasarnya hanya kebutuhan pembangunan/penduduk. Undang-Undang Kehutanan mengatakan bahwa konversi hutan produksi menjadi hutan budidya tidak didasarkan oleh nilai karbon stok sebagaimana dituntut oleh LSM. Sepanjang benar-benar hutan preoduksi berapaun nilai karbon stoknya boleh dikonversi menjadi kawasan budidaya. Sebaliknya jika hutan konservasi dan lindung, sekecil apapun stok karbonnya tidak boleh dikonversi menjadi kawasan budidaya.
Sumber: Mitos vs Fakta, PASPI 2017