JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Program mandatori B20 diyakini mampu menghemat devisa negara dan mengatasi defisit perdagangan. Bhima Yudhistira Adinegara, Pengamat Ekonomi INDEF, mengatakan program B20 mempunyai manfaat lebih untuk menekan defisit sekaligus menguatkan kurs rupiah.
“Kebijakan ini (B20) harus diapresiasi karena mampu berjalan baik dibandingkan kebijakan DMO batubara. Selain itu, program biodiesel memberikan multiplier effect lebih luas ke petani, pengusaha sawit sampai industri pengolahan,” kata Bhima kepada sawitindonesia.com, Jumat (3 Agustus 2018).
Berdasarkan data BPS, impor migas sampai semester pertama 2018 mencapai US$ 14 miliar. Angka ini jauh melebihi impor migas daripada periode sama tahun 2017 sebesar US$ 11,6 miliar.
Menurut Bhima, selisih impor migas lumayan lebar sekitar US$2,4 miliar atau setara Rp34,5 triliun. Jika diakumulasi dalam setahun mencapai Rp69 triliun. Jika dirinci ketergantungan impor solarnya 3,5 juta liter tahun ini.
Itu sebabnya, kata Bhima, kebijakan B20 akan berjalan efektif karena proyeksi penghematan impor diperkirakan setara Rp14,8 triliun per tahun. Walaupun, kebijakan B20 tidak bisa sendirian untuk mencegah defisit perdagangan langsung berubah jadi surplus. Akan tetapi, mandatori B20 punya kemampuan mencegah defisit perdagangan.
Untuk mensukseskan kebijakan mandatori, dikatakan Bhima, perlu koordinasi dengan perusahaan otomotif khususnya untk produksi kendaraan baru yg mesinnya didesain menggunakan campuran sawit.
Selama ini banyak jenis kendaraan yang kurang cocok menggunakan campuran bahan bakar sawit dari truk niaga, mobil pribadi, lokomotif kereta sampai alat angkutan pertahanan militer.
Menurut Bhima, Pertamina harus memastikan SPBU diseluruh Indonesia menjual B20 khususnya di areal pertambangan dan perkebunan sebagai suplai bahan bakar alat berat diesel.