Direktorat Jenderal Pajak berupaya membenahi kontribusi pajak dari sektor sawit. Sebagai penyumbang devisa nomor satu, tax ratio sawit diharapkan sebesar 11%-12%.
Industri sawit mempunyai potensi yang cukup besar dalam pendapatan negara dari penerimaan pajak. Melihat adanya potensi ini, pemerintah juga melakukan upaya-upaya untuk mendongkrak pemasukkan pajak dengan mengeluarkan kebijakan dalam memperkuat sistem dan regulasi perpajakan.
Dalam pandangan Yon Arsal, Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan, penerimaan pajak pada industri sawit merupakan industri yang sangat komprehensif. “Apa saja yang diproduksi dari bahan baku sawit mampu menghasilkan pendapatan bagi negara melalui penerimaan pajak. Mulai dari buah sawit, bisnis sawit mulai dari hulu hingga hilirnya menghasilkan potensi penerimaan pendapatan untuk negara,” ungkap Yon Arsal, saat Dialog Sawit akhir tahun, pada pertengahan Desember 2018, di Jakarta.
Menurutnya, sawit sangat potensial sebagai sumber penerimaan pajak. Dari data yang ada, Indonesia menjadi pemain sawit besar di dunia, 56% sawit di dunia berasal dari Indonesia dan 36% dari Malaysia. Tetapi penerimaan pajak dari sektor sawit belum optimal sehingga menjadi tantangan untuk meningkatkan perolehan pajak.
Seperti diketahui, Indonesia dan Malaysia sebagai negara produsen sawit terbesar di dunia. Namun, jika dilihat dari luasan lahan Indonesia lebih luas. Bahkan dari sisi produksi sejak dua dekade produksi minyak sawit Indonesia juga meningkat. Dari Produk Domestik Bruto (PDB) perkebunan sawit berkontribusi cukup besar untuk pendapatan negara. Ini menunjukkan industri sawit termasuk produk turunan dan perkebunannya memberikan dampak yang signifikan dalam penerimaan negara.
Data dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat kontribusi PDB sektor Perkebunan terhadap PDB Nasional pada 2014 (Rp338,50 triliun), 2015 (Rp345,16 triliun), 2016 (Rp357,14 triliun), 2017 (Rp373,05 triliun).
Walaupun industri sawit mampu memberikan pendapatan bagi negara, tetapi potensi yang dimiliki belum tergali secara optimal. Potensi ini dapat dilihat dari tax ratio. Secara umum tax ratio Indonesia berada pada 11% – 12%, namun untuk sawit masih di bawah standar yaitu masih di angka 6% – 7%.
Dari Kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bersumber data Ditjen Pajak Kemenkeu RI, menyebutkan, penerimaan pajak sektor kelapa sawit tahun 2015 sebesar Rp 22,20 triliun atau berkontribusi sebesar 2,10% dari total penerimaan pajak. Rerata pertumbuhan penerimaan pajak sektor kelapa sawit sebesar 10,90% per tahun
Yon juga menyebutkan penentuan tax ratio besar atau kecil tidak tergantung pada ekonomi tetapi sangat dipengaruhi pemainnya. Tax ratio di industri pengolahan jauh lebih besar. Tetapi untuk industri yang mengandalkan Sumber Daya Alam (SDA) tidak hanya perkebunan, pertambangan, perikanan tax ratio dari industri tersebut masih lebih rendah dari tax ratio nasional dikarenakan pelakunya sebagian besar masyarakat kecil.
“Tetapi tentu dengan melihat potensi pajak yang besar di masa mendatang dapat dioptimalkan. “Untuk mengoptimalkan, perlu kerjasama antar stakeholders. Karena proses di industri ini cukup komplek mulai dari perizinan dan produksi. dan, setiap tahap punya aspek perpajakan. Jadi yang perlu dibenahi bersama yaitu data pembandingnya sudah valid atau belum,” pungkasnya.
Untuk itu, lanjut Yon, sebagai upaya meningkatkan pemasukan pajak di sektor industri sawit, pihaknya berusaha meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (WP) melalui empat komponen yaitu Registrasi, Filing, Payment, Correct Reporting.