Persoalan sawit dalam kawasan hutan merupakan imbas dari tidak adanya paduserasi regulasi pemerintah. Akademisi mengusulkan Kementerian LHK dan ATR/BPN perlu duduk bersama menyelesaikan masalah ini.
Isu sawit dalam kawasan hutan menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Kebijakan pemerintah menyelesaikan masalah sawit di kawasan hutan perlu diluruskan supaya tidak muncul stigma negatif terhadap industri sawit.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menegaskan bahwa adanya pandangan yang salah di masyarakat berkaitan kebijakan pemutihan 3,3, juta hektare perkebunan kelapa sawit yang di kawasan hutan. Hal itu disampaikan Eddy Martono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), pada acara workshop wartawan GAPKI bertema “HGU Perkebunan Kelapa Sawit dan Kawasan Hutan”, di Bandung, pada Selasa (23 Agustus 2023).
Dikatakan Eddy, narasi yang telah berkembang di masyarakat saat ini, 3,3 juta hektar perkebunan kelapa sawit yang akan diputihkan dinilai merugikan negara. Padahal, faktanya yang terjadi tidak demikian di lapangan.
“Ini yang menjadi ganjalan bagi kami, narasi di luar sana adalah bahwa 3,3 juta hektar diputihkan. Yang terjadi bukan seperti itu, narasi itu sudah terbentuk sampai saya melihat podcast mantan ketua KPK Abraham Samad dengan serikat buruh. Seolah-olah 3,3 juta hektare merugikan negara sekian puluh triliun per bulan atau per hari,” katanya.
“Dalam narasi tersebut, seakan-akan negara telah dirugikan sekian ribu triliun karena hal itu sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Bahwa 3,3 juta hektare perkebunan kelapa sawit tersebut sudah memiliki Hak Guna Usaha (HGU). Artinya, perkebunan kelapa sawit tersebut tidak termasuk ke dalam kawasan hutan,” imbuh Eddy.
Untuk itu, GAPKI menilai narasi-narasi yang menganggap 3,3 juta hektar perkebunan sawit yang diputihkan termasuk dalam kawasan hutan dan merugikan negara harus diluruskan.
“Padahal yang terjadi itu di kawasan hutan ya masuk dalam HGU. Narasi-narasi seperti ini harus diluruskan. Jangan sampai industri sawit itu dinarasikan merugikan ratusan triliun,” ujarnya.
Saat ini, telah dikeluarkan 13 SK Menteri LHK yang menyebutkan ada 2.321 unit usaha dengan luasan 1.907 ribu hektar yang diidentifikasikan sebagai Kawasan hutan. Perusahaan tersebut kalau sudah mempunyai perizinan di bidang kehutanan akan mengikuti penyelesaian pasal 110A UUCK, sedangkan perusahaan perusahaan yang tidak mempunyai perizinan di bidang kehutanan dan tidak sesuai dengan tata ruang akan mengikuti penyelesaian pasal 110B dan diharuskan membayar denda dan hanya boleh beroperasi dalam satu siklus saja.
Ketidakpastian sikap pemerintah terhadap produk yg dihasilkan oleh pemerintah sendiri yakni berupa Hak Guna Usaha (HGU) dan Serifikat Hak Milik (SHM) di tengah maraknya konflik perusahaan dan masyarkat dikhawatirkan dapat berdampak pada iklim investasi industri kelapa sawit.
Di tengah hambatan dagang yang harus dihadapi industri kelapa sawit nasional, sektor ini tetap memberikan peran yang sangat penting terutama dalam penerimaan devisa negara. Tahun 2022, industri kelapa sawit menyumbang devisa sebesar US$ 39,07 miliar atau sekitar Rp 600 triliun. Ini merupakan pencapaian ekspor tertinggi kelapa sawit sepanjang sejarah. Kedua, masalah produksi yang stagnan bahkan cenderung menurun di tengah peningkatan konsumsi khususnya untuk pangan dan oleokimia. Sehingga diperlukan langkah atau upaya-upaya untuk meningkatkan produksi melalui program peremajaan sawit rakyat (PSR).
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 142)