Kalangan pemerintah dan akademisi menyakini kelapa sawit mampu menghemat emisi karbon CO2 lebih tinggi dibandingkan minyak nabati lain. Lalu kenapa sawit selalu dikaitkan perubahan iklim?
Melalui ruangan kerjanya, Dr. Dadan Kusdiana, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM RI, menegaskan bahwa Indonesia harus bangga memiliki tanaman kelapa sawit yang berfungsi sebagai penyerap emisi karbon.
“Secara langsung saya sampaikan sawit itu sangat ramah untuk lingkungan. Jadi, kelapa sawit ini membantu penyerapan emisi karbon. Fakta ini dapat ditemukan dalam berbagai literatur bahwa sawit menghemat emisi karbon lebih tinggi dibandingkan tanaman (minyak nabati) lain,” ujar Dr. Dadan Kusdiana, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM RI.
Pernyataan ini disampaikannya saat menjadi Keynote Speaker dalam Diskusi Virtual Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bertemakan “Kontribusi Industri Sawit Terhadap Net Zero Emissions Indonesia”, Jakarta pada akhir Mei 2023. Pembicara lain dalam diskusi ini antara lain Dr. Meika Syahbana Rusli, Director of Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC), IPB University, Dwimas Suryanata Nugraha, SH., MH, Subkoordinator Direktorat Perlindungan Perkebunan Kementerian Pertanian RI, dan Luwy Leunufna, Direktur Tunas Sawa Erma (TSE) Group.
Dalam presentasinya, Dadan menguraikan pohon kelapa sawit mampu menyerap 25 ton CO2 per tahun sedangkan pohon lainnya hanya sebesar 6 ton CO2 per tahun. Karena itulah, tanaman kelapa sawit merupakan penyerap CO2 sama dengan tanaman lain seperti tanaman kayu hutan. Selanjutnya mengutip data Henson (1999) Dalam proses fotosintesis kelapa sawit menyerap sekitar 161 ton CO2 per ha per tahun. Bila dikurangi CO2 proses respirasi, maka secara netto, kelapa sawit mampu menyerap CO2 sebesar 64,5 ton CO2 per tahun.
Kontribusi sawit menekan emisi karbon sudah diwujudkan melalui implementasi program mandatori biodiesel. Dadan mengatakan Indonesia saat ini menjadi negara terbesar dalam penggunaan biodiesel dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Malaysia.
“Kita akan terus tingkatkan pemanfaatan bahan bakar nabati ini baik dalam bentuk biodiesel maupun dalam bentuk bio yang lain, bahan bakar bio yang lain misalkan bioetanol itu juga bisa dibuat atau misalkan juga nanti bisa biogas,” ucap dia.
Dadan dalam presentasinya menguraikan pula bahwa penggantian Bahan Bakar mesin diesel dari minyak solar ke biodiesel dapat mengurangi emisi gas rumah kaca sekitar 50% – 60%. Berdasarkan kajian European Commissioning joint research center, apabila biodiesel dihasilkan dari PKS dengan methane capture POME dapat menurunkan emisi sampai dengan 62%.
Saat ini, dikatakan Dadan, pemerintah tengah mendorong pendekatan teknologi untuk mengkonversi minyak nabati, misalkan sawit langsung menjadi bensin atau langsung menjadi solar.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit indonesia, Edisi 140)