Pelaku industri sawit minta kepastian hukum menjadi bagian penting dalam tata kelola sawit di Indonesia karena terkait dengan kenyamanan dan keamanan berinvestasi. Namun, komoditas utama penghasil devisa ini menghadapi berbagai tantangan regulasi yang belum terselesaikan secara sistematis.
Hal ini disampaikan Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Sekjen GAPKI) Muhamad Hadi Sugeng Wahyudiono dalam Forum Diskusi yang digelar GAPKI Kalimantan Tengah, di Palangkaraya, pada Senin (5/2/2024) lalu.
Dalam diskusi bertajuk “Prospek Perkebunan Pasca UUCK” tersebut Hadi Sugeng memaparkan tiga hal utama yang menjadi tantangan industri pengerak ekonomi Indonesia ini diantaranya produktifitas yang stagnan, tuntutan Fasilitas Pembangunan Kebun Masyarakat (FPKM) 20%, serta kebun sawit yang teridentifikasi masuk kawasan hutan. “Diperlukan langkah yang solutif serta kolaboratif dalam menghadapi isu ini,” ujar Hadi Sugeng.
Kebutuhan minyak sawit dalam negeri, menurut Hadi, terus meningkat. Peningkatan volume ekspor juga penting dilakukan untuk menstabilitaskan harga TBS petani. Selain itu, peningkatan ekspor juga penting bagi devisa negara. Itu sebabnya, menurut Hadi, penting sekali mendorong terobosan kebijakan pemerintah dalam meningkatkan produktifitas melalui percepatan program peremajaan sawit rakyat (PSR).
Terkait dengan regulasi FPKM 20% dan perkebunan kelapa sawit yang teridentifikasi masuk kawasan hutan sehingga berpotensi muncul konflik sosial secara vertikal dan horizontal, juga sangat perlu disikapi. Menurut Hadi Sugeng, diperlukan kepastian hukum yang mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi di Indonesia masa mendatang. Maraknya penjarahan dan konflik lahan antara masyarakat dan perusahaan merupakan dampak dari ketidak pastian hukum ini.
Kewajiban perusahaan membangun perkebunan rakyat seluas 20% dari luas tertanam tertuang dalam Permentan No. 26 Tahun 2007 dan tidak berlaku surut. Bagi perusahaan yang telah beroperasi sebelum tahun 2007 tidak diwajibkan. Hadi Sugeng mengungkapkan bahwa perusahaan-perusahaan anggota GAPKI melaksanakan kewajiban plasma sesuai dengan regulasi tersebut.
“Terkait UUCK Pasal 110b, perusahaan hanya diberi waktu satu kali daur dan harus dikembalikan menjadi fungsi hutan. Itu sangat memberatkan dan membutuhkan biaya besar,” ujar Hadi Sugeng. Sementara, di satu sisi Industri kalapa sawit harus menjaga devisa negara dari nilai ekspor.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan 20 SK yang melibatkan setidaknya 2.128 perusahan dengan luas 2,17 juta Ha yang teridentifikasi masuk kawasan hutan. Apa bila 2,17 juta Ha perkebunan kelapa sawit didenda dan dicabut izinnya, Indonesia akan kehilangan 6,9 juta ton CPO atau setara dengan nilai devisa US 7,25 milyar atau Rp 112 trilyun.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 148)