Sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) tidak lagi bersifat sukarela atau voluntir bagi perkebunan sawit petani. Kewajiban ini akan diatur dalam Peraturan Presiden mengenai Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan. Petani menggugat aturan ini karena semakin memberatkan mereka.
Setelah tiga tahun dibahas, pemerintah akan menetapkan Peraturan Presiden mengenai Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (ISPO). Beleid ini sedang proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Setelah itu, baru diusulkan supaya dapat ditandatangani Presiden Joko Widodo.
“Sekarang perpres dalam proses harmonisasi Kementerian Hukum dan HAM (red-Hak Asasi Manusia). Sedang dilakukan proses koreksi dalam draf aturan ini,” kata Musdhalifah Machmud, Deputi Menko Perekonomian Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, pada awal Agustus 2019.
Rancangan Perpres ISPO mulai menuai kritikan setelah keluarnya pernyataan Menko Perekonomian RI, Darmin Nasution. Ia menyebut aturan baru akan mewajibkan petani memenuhi prinsip dan kriteria standar berkelanjutan ISPO. Kewajiban ini disertai dukungan pembiayaan pemerintah.”Berapa saja luasan kebun rakyat, pemerintah akan bantu biayai. Secara penuh. Pemerintah bisa bantu melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), duitnya ada. Saat melahirkan ISPO, ini nggak terbayangkan,” kata Darmin.
Ia berharap aturan ISPO ini dapat membenahi perkebunan-perkebunan sawit kecil. Agar benar-benar memenuhi standar prinsip berkelanjutan.
Usulan wajib ISPO bagi petani mendapat tanggapan keras dari Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO). Gulat ME Manurung, Ketua Umum DPP APKASINDO setelah membaca draf Perpres ISPO mengeluarkan uneg-uneg. Ia khawatir kewajiban ini menimbulkan persoalan bagi perkebunan sawit rakyat.
Dalam pasal 5 Perpres ISPO disebutkan sertifikasi ISPO dilakukan wajib terhadap usaha perkebunan kelapa sawit meliputi perusahaan perkebunan dan pekebun (petani). Definisi pekebun bermakna perseorangan melakukan usaha perkebunan sawit dengan tidak mencapai skala usaha tertentu. Khusus petani akan diberikan jeda waktu sampai 5 tahun sebelum diwajibkan ISPO sebagaimana diatur Pasal 22.
Gulat Manurung menjelaskan asosiasi petani tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan Perpres ISPO. “’Rencana Perpres Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ini, objeknya petani sawit, tapi petani sawit nya belum pernah diminta pendapat. Orang belum sempat memahami peraturan lama, peraturan baru sudah muncul pula,” keluh Gulat.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 94, 15 Agustus – 15 September 2019)