Uni Eropa menuntut praktik sustainability (keberlanjutan) sawit yang bersifat absolut. Dalam realitasnya, tuntutan sulit diimplementasikan di dunia nyata. Akibatnya, minyak sawit menghadapi persaingan dari harga (price competition) menjadi non harga (non price competition).
Hal tersebut disampaikan Ketua Dewan Pembina Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Prof. Bungaran Saragih dalam Advokasi Sawit dan Peluncuran Buku Mitos vs Fakta Sawit yang digelar di Jakarta, Senin (14/8/2023). Kegiatan itu digelar PASPI dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), serta didukung Majalah Sawit Indonesia.
Bungaran menjelaskan jika persepsi negatif terhadap sawit terus dibiarkan, maka akan mempertaruhkan nasib sekitar Rp1.600 triliun nilai aset kebun sawit nasional dan lebih dari Rp1.000 triliun nilai aset industri hilir sawit.
“Jangan kita mempertaruhkan masa depan 2,5 juta rumah tangga petani sawit dan 17 juta tenaga kerja,” ujar Bungaran dalam paparannya.
Dia mengungkapkan dampak industri sawit tak diragukan lagi begitu besar terhadap perekonomian nasional. Pendapatan negara mencapai US$50 miliar yang bersumber dari ekspor sawit US$39 miliar dan penghematan devisa dari mandatori biodesel sebesar US$10,3 miliar.
Dia mengatakan bahwa industri sawit telah berkontribusi besar dalam penciptaan surplus neraca perdagangan Indonesia yang telah dinikmati dalam tiga tahun terakhir, khususnya pada saat masa pandemi Covid-19. “Sawit salah satu penyelamat ekonomi Indonesia saat Covid yang lalu,” ujarnya.
Tidak hanya itu, lanjutnya, industri sawit di dalamnya juga terdapat 2,5 juta rumah tangga petani, mempekerjakan sekitar 16,5 juta tenaga kerja, dan setidaknya ada sekitar 70 juta rakyat Indonesia yang ekonominya terkaya dengan industri sawit.
“Keberhasilan industri menjadi produsen minyak dunia, dan diikuti pula keberhasilan minyak sawit dunia, mendominasi minyak nabati dunia. Jadi kita tidak hanya produsen terbesar sawit dunia, tapi kitalah produsen terbesar minyak nabati dunia. Sawit berkontribusi besar dalam menciptakan surplus neraca perdagangan yang kita nikmati 3 tahun terakhir khususnya selama Covid-19,” tutur Bungaran.
Menurut Bungaran, keberhasilan Indonesia menjadi produsen minyak sawit terbesar dunia sejak tahun 2006 lalu telah membawa dinamika baru pada persaingan minyak nabati dunia. Harga minyak sawit yang jauh lebih kompetetif dibanding minyak nabati lain, telah menggeser persaingan minyak nabati dunia dari price competition ke non-price competition.
Salah satu isu yang sering digunakan sebagai senjata non-price competition melawan sawit adalah isu sustainability baik dari segi sustainability ekonomi, sosial, dan lingkungan. “Kita setuju bahkan telah berkomitmen mencapai sustainability sawit. Kita sudah adopsi SDGs yang menjadi agenda United Nations. Bahkan, sebelumnya kita sudah mengadopsi ISPO pada 2011 dan RSPO 2008,” urai Menteri Pertanian periode 2000-2004 ini.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 142)