Rombongan GAPKI harus menempuh jarak 13.574 kilo meter untuk sampai di Karachi, Ibu kota Pakistan. Strategi diplomasi dan promosi tetap dilakukan agar Pakistan menjadi pasar utama sawit Indonesia.
Selama empat hari lamanya, rombongan GAPKI yang dinakhodai Eddy Martono mengikuti Pakistan Edible Oil Conference (PEOC) yang berlangsung 12 – 13 Januari 2024 di Karachi. Konferensi tahunan ini menjadi agenda utama bagi pelaku sawit Indonesia untuk mendekatkan diri dengan industri pengguna sawit di Pakistan.
Eddy Martono menjelaskan bahwa Pakistan memiliki tempat tersendiri bagi Indonesia karena terus meningkatkan pembelian minyak sawitnya dalam beberapa tahun terakhir. “Pakistan adalah pasar yang potensial dan saya yakin akan terus berkembang. Untuk itu harus diperhatikan dan dikembangkan dalam berbagai perjanjian perdangan yang saling memberikan manfaat bagi kedua negara,” tegas Eddy.
Dari data GAPKI, Eddy Martono menyebutkan sepanjang 2022 total ekspor kelapa sawit dan turunannya ke Pakistan mencapai 2,78 juta ton setara dengan US$3,1 miliar. Sedangkan Oktober 2023, ekspor kelapa sawit ke Pakistan mencapai 2,24 juta ton atau US$2,1 miliar.
Walaupun, Pakistan menjadi pasar potensial bagi industri sawit Indonesia. Tetapi tetap ada sejumlah persoalan yang menjadi hambatan berkaitan kampanye negatif seperti isu deforestasi dan hambatan non teknis dagang.
Seperti dijelaskan Ketua Bidang Luar Negeri GAPKI Fadhil Hasan meluruskan isu negatif sawit dalam kuliah umum di Institute of Business and Admisnistration (IBA) of Karachi, Pakistan. Saat ini, kampanye negatif yang dihadapi antara lain deforetasi dan dampak ekspansi kelapa sawit terhadap orang utan menjadi sorotan utama.
“Selain itu, kami bahas juga potensi pengembangan dan riset kelapa sawit di Pakistan dengan menggunakan bibit yang menghasilkan tanaman kelapa sawit karena membutuhkan lebih sedikit air. Ada pula pembahasan seperti India dan China yang telah terlebih dahulu mengembangkan kelapa sawit, wacana agar pakistan juga mengembangkan sawit sebagai cadangan untuk memenuhi kebutuhan domestik,” urainya.
Dari aspek kesehatan, Fadhil Hasan juga meng-counter isu bahwa konsumsi minyak goreng sawit dapat mengakibatkan penyakit kardiovaskular. Terkait isu ini, Fadhil yang juga ekonom INDEF ini memaparkan data Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) yang menunjukkan komposisi lemak jenuh dan tak jenuh pada minyak sawit seimbang.
Upaya meng-counter isu negatif ini sangatlah penting karena Pakistan menempati nomor empat pembeli terbesar minyak sawit Indonesia. CEO Westbury Grup Abdul Raseed Jan Muhammad menjelaskan bahwa kebutuhan minyak nabati di Pakistan mencapai 4,5 juta ton. Dari jumlah tersebut, pasokan dari dalam negeri hanya dapat dipenuhi 750 ribu ton.
“Sebagian besar kami memang impor minyak nabati dari negara lain seperti Indonesia dan Malaysia. Minyak nabati yang dibeli antara lain sawit, minyak rapeseed, dan minyak bunga matahari,” ujar Jan.
Dalam presentasinya, dijelaskan Jan, tahun ini Pakistan juga membeli minyak rapeseed sebanyak 18.600 MT dan 24.600 MT minyak bunga matahari. ”Kedua minyak tersebut jauh lebih murah dibandingkan minyak kedelai. Volume pembelian memang rendah karena Pakistan tidak dapat memanfaatkan keuntungan dari membeli minyak bunga matahari dengan harga rendah dan minyak rapeseed karena tingginya beban bea masuk dibandingkan dengan minyak kedelai,” ujar Jan.
Karena itulah, Pakistan lebih banyak membeli produk sawit mencapai 3 juta ton. Dari jumlah tersebut, produk olahan sawit seperti Olein dan RBDPO menjadi pilihan utama. Pembelian Olein mencapai 1,48 juta ton dan RBDPO sebesar 1,3 juta ton.
“Pakistan membeli produk sawit dari Indonesia mencapai 90% dari total kebutuhan. Setelah itu barulah disusul Malaysia sebesar 10%,” kata Jan.
Menurutnya, kebutuhan minyak nabati yang cukup besar dan ketergantungan impor, membuat kami berharap bahwa Pemerintah Indonesia bisa melihat kembali kebijakan yang dijalankan. “Pakistan akan membeli sawit dari Indonesia untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati yang akan meningkat pada akhir tahun 2023 hingga awal tahun 2024,” urai Abdul Rasheed saat berbicara di IPOC pada awal November 2023.
Kebutuhan ini masih ditambah lagi dengan kenyataan bahwa Pakistan baru-baru ini memberlakukan larangan produk pangan rekayasa genetika atau GMO, sehingga pasokan minyak nabati yang masuk menjadi lebih terbatas.
“Kami harap Indonesia tetapakan membuka keran eskpor kepada Pakistan, sebab produksi minyak nabati kami belum cukup untuk memenuhi kebutuhan domestik,” kata Abdul.
Berpijak dari data tersebut, tak heran rombongan GAPKI menaruh harapan supaya Pakistan tetap memilih Indonesia sebagai supplier utama produk sawitnya.
Komjen Republik Indonesia di Pakistan, June Kuncorohadiningrat menjelaskan bahwa Pakistan memiliki banyak potensi perdagangan dengan Indonesia dan bisa menguntungkan kedua negara.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 147)