Produksi minyak nabati diramalkan tidak mampu mengimbangi permintaan. Ada peluang harga CPO bakalan lebih bagus dari pada 2023.
Indonesia sebagai rujukan industri minyak nabati khususnya minyak sawit menjadi sorotan dari aspek produksi, konsumsi, dan ekspor. Presentasi Ketua Umum GAPKI, Eddy Martono, membuka tabir akan terjadi stagnansi produksi kelapa sawit Indonesia memasuki 2024. Di sisi lain, permintaan domestik yang kian meningkat diprediksi akan mengoreksi kinerja ekspor komoditas strategis nasional ini hingga lebih dari 4% di tahun 2024. Hal ini diungkapkan.
“Peningkatan produksi paling tinggi tidak lebih dari 5%. Jika mandatori B35 diperpanjang maka kebutuhan domestik Indonesia bisa mencapai 25 juta ton. Dengan demikian, Maka ekspor kelapa sawit di tahun 2024 akan berkurang 4,13% atau hanya sekitar 29 juta ton”, jelas Eddy Martono saat menjadi pembicara Pakistan Edible Oil Conference di Karachi, Pakistan (14 Januari 2024).
Data kondisi industri sawit Indonesia diuraikan secara lengkap oleh Ketua Bidang Luar Negeri GAPKI, Fadhil Hasan. Dalam presentasinya, selain program mandatori biodiesel, peningkatan konsumsi juga terjadi pada produk oleo chemichal. Sehingga trent penurunan ekspor sebetulnya sudah terjadi sejak 2020 dengan tujuan ekspor utama yakni China, India, Uni Eropa, Pakistan dan Amerika Serikat.
Fadhil memaparkan produksi kelapa sawit Indonesia terus mengalami penurunan sejak tahun 2005. “Periode 2005 – 2010 terjadi penurunan produksi sebesar 10% , lalu 2010 – 2015 turun 7,4%, kemudian periode 2015 – 2020 turun 3,2% dan seterusnya stagnan,” ungkap Fadhil.
Dalam tiga tahun terakhir sepanjang 2020 – 2022 pertumbuhan produksi adalah negatif menunjukkan adanya masalah struktural pada kelapa sawit industri. Kedua wilayah tersebut mengalami perluasan dan produktivitas stagnan.
Fadhil menguraikan produksi minyak sawit relatif stagnan pada periode terakhir empat tahun meskipun dengan tren menurun. Pada 2023, produksi diperkirakan sedikit lebih tinggi dibandingkan tahun 2022 sebagai imbas dari pulihnya hasil produksi sawit dan tanaman yang baru dipanen.
Dari aspek permintaan, dikatakan Fadhil, pertumbuhan permintaan minyak sawit Indonesia relatif stabil pada periode tersebut sepanjang 2005 – 2015 dan sedikit menurun menjadi 8,7% pada periode 2016 – 2020. Tetapi, pada periode 2020 – 2022 terjadi pertumbuhan permintaan yang cenderung negatif.
Namun, Fadhil memberikan analisis menarik berkaitan konsumsi minyak sawit domestik Indonesia. Saat ini, konsumsi domestik ditunjukkan peningkatan yang cukup besar pada periode 2015 – 2020 karena adanya program mandatori biofuel. Karena itulah mulai terjadi pergeseran di dalam komposisi permintaan dari ekspor yang cenderung mengarah kepada konsumsi berorientasi lebih kedalam negeri. Sekarang, konsumsi sawit Indonesia pangsa pasar sekitar 34%.
“Seperti halnya produksi, ekspor juga sedang dalam tren menurun empat tahun terakhir dan dalam ekspor tahun 2023 akan sedikit lebih rendah dibandingkan tahun 2022. Rasio ekspor terhadap total produksi juga menurun terutama karena wajib program bahan bakar nabati,” urai Fadhil.
Menurutnya, konsumsi makanan/minyak goreng juga relatif stabil dalam tiga tahun terakhir kecuali pada 2022 di mana konsumsi minyak goreng meningkat karena kelangkaan pasar di awal tahun. Begitu pula dengan program mandatori biofuel yang ditingkatkan menjadi 35% awal Februari 2023 dan akan tetap pada tahun 2024.
Executive Director Oil World, Thomas Mielke, menjelaskan penurunan produksi kelapa sawit memberikan pengaruh signifikan di pasar global saat konsumsi dunia meningkat. Dalam hal ini, Industri kelapa sawit Indonesia tetap akan mendominasi pasar minyak nabati global yang menguasai 32% produksi minyak nabati dan 53% ekspor di pasar global di tahun 2024.
“Peningkatan produksi kelapa sawit dalam setahun hanya sekitar 1,7 juta ton atau bahkan kurang. Jumlah ini jauh lebih rendah dari biasanya yang terjadi dalam sepuluh tahun terakhir sejak 2020 yakni 2,9 juta ton,” jelasnya dalam Pakistan Edible Oil Conference di Karachi, Pakistan.
Penurunan produksi utamanya dikarena turunnya produksi sawit Indonesia sebagai negara produsen dan eksportir kelapa sawit terbesar. Begitu pula adanya El Nino atau gelombang panas ekstrem di berbagai belahan dunia di akhir tahun 2023 tidak memberikan pengaruh lebih signifikan dibandingkan penurunan produksi kelapa sawit di Indonesia.
Mielke menjelaskan bahwa penurunan rerata produksi setiap tahunnya harus menjadi alarm bagi suplai dan permintaan minyak nabati dunia. Ada sejumlah tantangan yang dihadapi dalam peningkatan produksi antara lain minimnya peremajaan sawit di mana sekitar 30 persen dari tanaman di Malaysia berusia lebih tua, moratorium sawit, defisit jumlah tenaga kerja, kenaikan biaya produksi, dan persoalan manajemen.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 147)