Sebelum mengelola PT Amal Tani, Riahna Jamin Gintings adalah Pegawai Negeri Sipil Departemen Perdagangan (sekarang-Kementerian Perdagangan). Proses transformasi profesi dari PNS menjadi pengusaha dapat dilewati dan terbukti PT Amal Tani dapat berjalan lebih baik.
“Ketika saya mengurus ijin, kami bisa lebih teliti karena sudah paham karakter institusi pemerintahan seperti apa,” ujar Riahna.
Anak kedua dari lima bersaudara ini dipercaya mengelola PT Amal Tani, perusahaan milik keluarga yang berlokasi di Sumatra Utara. Mengelola bisnis sawit dirinya banyak belajar dari ibunya yang bernama Likas Tarigan Jamin Gintings yang mengajarkan kedisiplinan dalam berperilaku dan berbisnis. Sedangkan dari ayahnya, dirinya sering dinasehati untuk terus belajar.
Ditengah lesunya harga CPO,Riahna tetap optimis industri sawit tetap menjanjikan.Majalah SAWIT INDONESIA berkesempatan mewawancarai wanita yang hobi traveling ini di salah satu pusat perbelanjaan yang berlokasi di Jakarta Selatan. Berikut ini petikan wawancara kami:
Darimana Ibu belajar bisnis kelapa sawit ?
Sebenarnya, PT Amal Tani ini baru beralih ke bisnis sawit pada sekitar tahun 2000. Jadi, perkebunan kami itu awalnya adalah karet. Dan pabrik sawit kami pertama kali dibangun sekitar tahun 2005. Belajar sawit itu dari membaca laporan dan data perusahaan yang masuk karena posisi saya ini sebagai pemegang saham jadi seluruh laporan dipelajari.
Sedari kecil juga sudah nemenin Ibu untuk tengok kebun, waktu itu masih karet. Jadi begini selesai kuliah di Ottawa University, Kanada. Lalu diminta Ibu saya kerja di PT Amal Tani. Tetapi saya gak mau karena dulu kan masih seperti hutan belantara. Waktu naik truk, jalanannya buruk banget kita sampai loncat, jalannya gujluk gujluk aduh bisa pingsan waktu itu. Lalu saya bilang ke Ibu: “Ini bukan pekerjaan perempuan tapi pekerjaan laki-laki”.
Selanjutnya, saya sempat bekerja di KPB PTP 12 dan PTP 13. Saya kerja di PTP selama empat tahun makanya paham komoditas seperti teh dan karet, lalu kelapa sawit. Cuma saya nggak, hobi saya nggak disitu sebenarnya. Setelah itu, saya masuk sebagai pegawai negeri Departemen Perdagangan.
Kenapa waktu itu memilih jadi pegawai negeri?
Ibu saya mendorong kita untuk sekolah lalu menjadi pegawai negeri gitu. Ya, Ibu saya itu agak kuno juga. Dia bilang kalau jadi pegawai negeri kalau kita sudah tidak ada penghasilan bulanan nanti ada uang pensiun. Jadi, saya sebenernya nurut-nurut saja. “Kami semua nurut nurut karena kami anak perempuan dan satu lagi adik paling bontot itu laki-laki. Dulu saya diarahkan menjadi pegawai negeri ya sudah jadi pegawai negeri. Padahal, lulusan luar negeri kalau mau kerja swasta gajinya pasti lebih besar tapi tujuannya memang bukan uang disini. Namun, supaya kami lebih aman.
Tujuan kerja waktu itu bukan sekadar duit karena sudah ada pemasukan dari bisnis keluarga di PT Amal Tani. Makanya, waktu jadi pegawai negeri kalaupun kekurangan duit nggak bakal korupsi.
Setelah pensiun PNS, mengapa Ibu baru terjun ke bisnis sawit?
Sebenarnya, ketika Ibu masih mengelola perusahaan saya sudah masuk jajaran komisaris. Tetapi memang tidak terlalu mendalami. Baru setelah adik saya meninggal, jabatan direktur mulai saya pegang. Tepatnya sekitar tahun 2008, saya fokus dengan perusahaan dan waktu itu sudah tidak lagi menjadi pegawai negeri.
Usia perusahaan ini sudah lebih dari 50 tahun lamanya. Perusahaan mulai mengembangkan perkebunan karet sekitar tahun 1962-an. Di perusahaan ini, awal masuk saya menjabat direktur SDM, lalu pindah sebagai direktur keuangan, dan menjadi direktur utama. Memang semua saya lewati dengan bertahap.
(Lebih lengkap silakan baca Majalah SAWIT INDONESIA Edisi Mei-Juni 2015)