Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) berpeluang mendukung ekspor dan kesejahteraan petani sawit. Wacana ini disampaikan oleh Prof. Dr. Sri Adiningsih, M.Si Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Gajah Mada (UGM).
Prof. Sri Adiningsih menjelaskan saat ini pengelolaan perkebunan sawit di Indonesia dikelola oleh perusahaan besar nasional, perusahaan besar swasta dan petani rakyat. “Lebih dari 40% perkebunan sawit dikelola masyarakat (rakyat) yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia,” jelasnya.
“Saya pernah mendatangi beberapa daerah sentra sawit di Indonesia. Meski produktivitas perkebunan sawit masih rendah dibanding perkebunan yang dikelola perusahaan besar nasional dan swasta. Tetapi yang menarik produktivitas sawit nasional dari tahun ke tahun trennya meningkat,” lanjutnya dalam diskusi virtual pada April kemarin.
Kendati, secara nasional produktifitas sawit trennya mengalami peningkatan. Tetapi bukan berarti, perkebunan sawit yang dikelola rakyat tidak menghadapi kendala atau tantangan.
“Perkebunan sawit rakyat menghadapi berbagai tantangan salah satunya rendahnya produktivitas. Banyak petani sawit yang membudidaya tanaman kelapa sawit tidak sesuai standar, di antaranya menggunakan bibit asalan (tidak bersertifikat) yang mengakibatkan produktivitas rendah dibanding perusahaan swasta dan nasional,” ujar Sri Adiningsih yang menjabat Dewan Pertimbangan Presiden periode 2015-2019.
Rendahnya produksi dan produktivitas sawit yang dikelola petani rakyat secara tidak langsung akan mempengaruhi ekspor minyak sawit mentah atauCrude Palm Oil (CPO) yang menjadi andalan pemasukan devisa negara.
“Kesejahteraan petani sawit juga tergantung kepada ekspor. Jika ada hambatan maka petani juga terhambat,” imbuh Prof Sri Adiningsih.
Tantangan budidaya adalah masih banyak petani sawit yang menggunakan bibit asalan. Selain itu, bagaimana mengelola tanaman kelapa sawit berkelanjutan yang terus berkembang sesuai dengan prinsip dan kriteria Indonesian Suatainable Palm Oil (ISPO).“Ini menjadi tantangan bagi Indonesia bahwa sertifikasi ISPO harus diberlakukan dan memang implementasinya tidak mudah.
Tantangan berikutnya yaitu program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) atau replanting. Di tahun ini, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) mengalokasikan Rp 5,6 triliun untuk proram PSR untuk menggantikan tanaman kelapa sawit rakyat yang usianya sudah tidak lagi produktif. Dana tersebut, dialokasikan dari pungutan ekspor CPO dan turunannya.
Meski berbagai industri sawit menghadapi berbagai tantangan yang menjadi andalan ekspor dan berkontribusi pada perekonomian nasional, Prof. Sri Adiningsih menyimpulkan bahwa kelapa sawit tetap dan menjadi produk unggulan Indonesia karena menjadi produsen terbesar di dunia dan menciptakan banyak lapangan kerja dan kesejahteraan.
“Produksi dan produktivitas kelapa sawit meningkat, tetapi kebun rakyat rendah dan pengelolaannya tidak sesuai dengan ISPO. Indonesia adalah eksportir minyak kelapa sawit terbesar di dunia dan nilai ekspornya terus meningkat,” terangnya.
Lebih lanjut, Ia menambahkan pengembangan kelapa sawit yang berkelanjutan sesuai dengan prinsip dan kriteria ISPO, peremajaan sawit rakyat dan hilirisasi menjadi tonggak penting dalam peningkatan produksi dan ekspor kelapa sawit.
(Selengkapnya Dapat di Baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 115)