Minyak sawit sudah menjadi minyak nabati global, yang di konsumsi hampir seluruh negara dunia baik sebagai bahan pangan (oelofood), bahan baku industri (oleokimia) dan energi (biofuel). Indonesia sebagai produsen yang bertanggungjawab dalam memenuhi kebutuhan minyak sawit dunia secara berkelanjutan.
Prof. Bungaran Saragih, Pengamat Pertanian menjelaskan bahwa dalam 20 tahun terakhir, pasar minyak sawit dunia makin menuntut minyak sawit dengan atribut berkelanjutan dari aspek ekonomi, sosial maupun ekologis. Intensitas tuntutan sustainability minyak sawit berbeda-beda di setiap negara. Kawasan Eropa dan USA menuntut kualitas sustainability lebih ketat. Lain ceritanyadengan pasar minyak sawit di negara berpendapatan rendah seperti kawasan Afrika dan Asia Tengah umumnya mengutamakan harga yang murah, dan belum menuntut atribut sustanabilty minyak sawit.
“Sedangkan pasar China, India dan Timur Tengah berbeda antara diantara kedua kelompok negara tersebut diatas. Segmen pasar tertentu menuntut sustainability di segmen pasar lain secara lebih luas belum menuntut sustainability,” ujarnya.
Untuk merespon tuntutan sustainability, Indonesia sejak 10 tahun lalu telah mengadopsi skema perkebunan kelapa sawit berkelanjutan baik inisiatif pemerintah Indonesia seperti ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) dan konsumen Eropa melalui RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil). Merujuk data Komisi ISPO tahun 2019, volume CPO yang telah mengantongi sertifikat ISPO telah mencapai 12,2 juta ton. Sedangkan untuk sertifikasi RSPO (RSPO, 2019) sampai bulan Juli 2018 telah mencapai 6,3 juta ton.
Dijelaskan Bungaran bahwa sejumlah isu terkait dengan sustainability minyak sawit yang perlu kita cermati dan diskusikan dalam upaya perbaikan ISPO kedepan. Pertama, konsumen minyak sawit dunia yang selama ini menuntut sustainability minyak sawit ternyata inkonsisten dalam hal penyerapan pasar CPO bersertifikat sustainability.
Kedua, konsep relatif versus absolute sustainability. Konsep sustainability yang berlaku dan diadopsi saat ini baik ISPO maupun RSPO merupakan konsep absolute sustainability, terdiri dua kategori: sustainable or unsustainable. Pendekatan sustainability merupakan konsep yang relatif lebih sustainable (more sustainable) dari sebelumnya atau dibandingkan dengan yang lain.
Ketiga, isu keberterimaan ISPO secara internasional. Sampai saat ini, ISPO belum memperoleh pengakuan internasional sebagai standar palm oil sustainability. Untuk memperoleh pengakuan internasional, Kementerian Pertanian harus mengajukan standar ISPO menjadi SNI ISPO ke Badan Standarnisasi Nasional (BSN). Selanjutnya, BSN akan menotifikasi SNI ISPO tersebut ke WTO untuk memperoleh pengakuan internasional. Jika anggota WTO tidak ada yang keberatan, maka SNI ISPO akan diakui secara internasional.
Keempat, nasib kebun sawit rakyat. Dalam Permentan 11/2015 tentang ISPO, ternyata telah menganut prinsip ketertelusuran (traceability) yakni seluruh PKS wajib ISPO dan PKS yang telah memperoleh sertifikat ISPO tidak diperbolehkan membeli TBS dari kebun yang belum sertifikasi ISPO. Walaupun, arahan ini bertujuan mempercepat implementasi ISPO. Tapi, tuntutan tersebut berpeluang menyingkirkan petani sawit (phase out) sebab hampir 95 persen kebun sawit rakyat saat ini belum memperoleh sertifikat ISPO. Ini berarti, mereka tidak boleh menjual TBS ke PKS bersertifikat ISPO. Persoalan yang terjadi sekarang ini adalah kebun sawit rakyat belum memperoleh ISPO karena terhambat legalitas. Penyelesaian masalah legalitas merupakan wewenang penuh pemerintah bukannya petani. Jika ISPO diwajibkan bagi petani, lalu kemana petani sawit menjual TBS? Apakah industri sawit (dengan sertifikat sustainable) masih dapat kita sebut sustainable jika sawit rakyat tersingkirkan?
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 98)