Uni Eropa menyatakan pasarnya terbuka bagi produk sawit dan tidak ada hambatan dagang. Fakta di lapangan berbeda. Perdagangan sawit dan biodiesel diganggu kampanye hitam serta kebijakan yang berubah-ubah.
Di hadapan awak media Indonesia, Charles Michel-Geurts, Kuasa Usaha Ad Interim Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam menegakan Uni Eropa adalah pasar yang terbuka. Tidak ada hambatan dagang dan kebijakan yang mendiskriminasikan produk kelapa sawit.
“Kita tidak ingin ada perang dagang dengan Indonesia. Persoalan ini merugikan baik Indonesia dan Uni Eropa, bahkan memperlemah hubungan keduanya. Begitupula akan berdampak kepada perundingan IEU-CEPA,” ungkapnya.
Ia menjelaskan perundingan Indonesia dengan Uni Eropa belum sampai ditahapan terakhir. Berbeda dengan negara Asean lain seperti Vietnam, Malaysia dan Filipina sudah mencapai tahap akhir penyelesaian perundingan dagang dengan Uni Eropa.
Michel-Geurts menunjukkan bukti
hubungan baik perdagangan sawit Indonesia ke Eropa. Sepanjang lima tahun
terakhir, volume impor produk sawit Uni Eropa stabil rerata 3,5 juta ton per
tahun atau setara 2,2 miliar euro. Sebagian besar produk sawit dari Indonesia
diolah menjadi industri makanan, farmasi, dan kecantikan. Besarnya perdagangan sawit Indonesia di Uni
Eropa didukung kemudahan bea masuk antara nol persen hingga 10,9 persen. Nilai
tarif ini cenderung rendah dibandingkan
dengan negara eksportir lain.
Di luar itu, adapula produk biodiesel Indonesia
yang diekspor ke negara-negara Uni Eropa.
Pasar biodiesel mencapai 9 miliar euro dimana Indonesia berkontribusi
sekitar 400 juta euro.
“Tidak ada sama sekali pelarangan impor minyak kelapa sawit dalam
hubungan perdagangan antara Indonesia dengan Uni Eropa,” ujar
Michel-Geurts. Hingga sekarang, Uni Eropa menempati posisi ketiga pasar utama
sawit bagi Indonesia.
Michael Geurts setengah menantang untuk menunjukkan bukti diskriminasi sawit
oleh Uni Eropa. “Saya
tantang anda untuk menunjukkan faktor atau fakta apa bahwa Eropa akan
menghentikan (pemakaian) minyak sawit. Tidak ada pembatasan terhadap minyak
sawit,” tegas Geurts
Faktanya dari segi volume sepanjang lima bulan pertama tahun ini, volume impor minyak kelapa sawit asal Indonesia di kawasan Uni Eropa tumbuh 0,7 persen. “Kami tetap stabil beli minyak sawit dari Indonesia. Sekitar 50% untuk industri makanan maupun kosmetik. Lalu, 15% dipakai bagi biodiesel,” ujarnya.
Yang menjadi pertanyaan, apabila pasar Uni Eropa terbuka bagi sawit lalu kenapa diterbitkan aturan RED II yang bertujuan menghapus penggunaan sawit sebagai bahan baku biofuel? Michael Bucki, Konselor Perubahan Iklim dan Lingkungan menjelaskan bahwa , keputusan Uni Eropa mengenai yang tertuang dalam Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation hanya ditujukan kepada produk biodiesel. Lahirnya kebijakan Uni Eropa ini berdasarkan kepada upaya memerangi perubahan iklim akibat pembukaan hutan (deforestasi) dan penggunaan lahan gambut.
(Selengkapnya dapat di baca di majalah Sawit Indonesia, Edisi 95)