Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berharap kelapa sawit dapat menjadi solusi dalam mengatasi stunting. Dapat berperan melalui program fortifikasi vitamin A di minyak goreng.
Setiap negara mengalami permasalahan gizi, termasuk Indonesia. Berdasarkan data Kemenkes Indonesia mengalami kekurangan gizi mikro yakni, kekurangan asupan vitamin dan mineral seperti zat besi, yodium, asam folat, zinc dan vitamin A. Dan salah satu akibatnya terjadinya stunting atau kerdil.
Doddy Izwardy, MA, Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan RI mengatakan perbaikan gizi merupakan investasi ekonomi dimana kecukupan gizi makro dan mikro merupakan prasyarat membangun kualitas sumberdaya manusia termasuk kualitas fisik dan intelektual serta produktivitas tinggi.
“Masalah stunting di Indonesia berdampak kepada tiga aspek yaitu gagal tumbuh, gangguan kognitif dan gangguan metabolisme. Jika masalah stunting tidak diatasi, maka Indonesia mengalami kerugian dari aspek ekonomi,” terangnya.
Untuk mengatasi persoalan kekurangan gizi mikro. Perlu ada pengawasan implementasi SNI fortifikasi yang jelas, meningkatkan kepatuhan pelaku industri terhadap standar produksi pangan, dukungan pembinaan kepada pelaku industri pangan.
Selain itu, pengembangan regulasi untuk mendukung kebijakan fortifikasi pangan atau penambahan mikronutien (vitamin dan unsur renik esensial) pada makanan. serta, perlu adanya riset dan standarisasi yaitu pengembangan bahan fortifikan untuk mengurangi ketergantungan impor, inovasi teknologi yang diadaptasi oleh pelaku industri, dan riset untuk membuktikan efektivitas program fortifikasi yang berjalan saat ini.
Kementerian Kesehatan mendukung program fortifikasi vitamin A di minyak goreng sawit. Melalui Surat Menteri Kesehatan kepada Perindustrian bernomor GM.03.03/Menkes/448/2018 tanggal 2 Agustus 2018 tentang Dukungan Pemberlakuan Wajib SNI Minyak Goreng Sawit dengan Vitamin A.
Doddy menyebutkan kekurangan Vitamin A merupakan masalah gizi yang perlu ditangani. Minyak goreng sawit dapat menjadi salah satu solusinya. Oleh karena itu, Menteri Kesehatan menyarankan agar SNI wajib MGS dapat segera diberlakukan sesuai rencana Kementerian Perindustrian. Sebelum SNI wajib MGS dengan Vitamin A diberlakukan, perlu disepakati pengaturan dan mekanisme pengawasan mutu di pabrik dan di pasar yang dilakukan oleh sektor terkait (Kementerian Perindustrian, BPOM, Kementerian Perdagangan).
Penguatan sistem pengaturan pengawasan dan koordinasi yang menjamin pengawasan mutu yang efektif dan tidak menimbulkan masalah bagi produsen dan pengecer. Pemantauan dan perbaikan status vitamin A balita, ibu hamil dan menyusui yang dilakukan secara periodik.
Perbaikan gizi merupakan investasi ekonomi. Kecukupan gizi makro dan mikro sebagai prasyarat untuk membangun kualitas sumberdaya manusia termasuk kualitas fisik dan intelektual serta produktivitas yang tinggi. Fortifikasi pangan bertujuan untuk meningkatkan tingkat konsumsi zat gizi bagi populasi rawan gizi. Fortifikasi pangan adalah intervensi yang cost effective yang dapat menghasilkan manfaat ekonomi yang cukup besar. Program ini dapat terlaksana dengan baik jika ada dukungan semua pihak termasuk industri dan pemangku kepentingan.
Produk olahan sawit
Kementerian Kesehatan berharap ada produk olahan kelapa sawit menghasilkan kaya akan vitamin A, melalui hasil penelitian. Dalam rencana program fortifikasi minyak goreng, Kemenkes telah mengeluarkan Surat Menteri Kesehatan kepada Menteri Perindustrian nomor GM.03.03/Menkes/448/2018 tentang Dukungan Pemberlakuan Wajib SNI Minyak Goreng Sawit dengan Fortifikasi Vitamin A.
“Untuk itu, kami berharap kelapa sawit dapat menjadi solusi dalam mengatasi stunting. Karena masalah yang dihadapi pola konsumsi,” jelasnya.
Namun kata Doddy, pemberlakuan wajib masih ditunda hingga saat ini. Hal ini lantaran stabilitas vitamin A masih dipertanyakan. Padahal, fortifikasi minyak goreng sawit mampu menjangkau wilayah yang tidak terjangkau program suplementasi,” ujar Doddy.
Fortifikasi pangan bertujuan untuk meningkatkan tingkat konsumsi zat gizi bagi populasi rawan gizi. Fortifikasi pangan adalah intervensi yang cost effective yang dapat menghasilkan manfaat ekonomi yang cukup besar. “Program ini akan terlaksana dengan baik dengan dukungan semua pihak, termasuk di dalamnya industri dan para pemangku kepentingan,” katanya.
Dia mengatakan, pemberian ASI eksklusif paling efektif mencegah terjadinya stunting. “Meskipun bayi yang lahir dengan berat badan dibawah 2.500 gram daan tinggi kurang 48 cm, ini ada resiko terkena stunting,” ungkapnya.
Masalah gizi termasuk stunting terjadi hampir di setiap kelompok pendapatan, namun persentase tertinggi ada pada 20% kelompok termiskin. Dalam mengatasi stunting pemerintah sudah membuat tiga program yaitu suplementasi, fortifikasi dan perilaku makan.