JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Sampai bulan kelima di tahun ini, ekspor produk kelapa sawit Indonesia mengalami kendala di sejumlah negara tujuan seperti India, Tiongkok, negara kawasan Eropa, dan Bangladesh. Masalah yang dihadapi mulai dari persoalan bea masuk dan regulasi dagang.
“Melemahnya pasar ekspor minyak sawit Indonesia tentu menjadi suatu pekerjaan rumah bagi industri sawit Indonesia. Beberapa negara tujuan ekspor utama memberlakukan regulasi yang sudah masuk dalam kategori hambatan dagang,” jelas Mukti Sardjono, Direktur Eksekutif GAPKI dalam keterangannya.
India adalah salah satu negara yang menaikkan tarif bea masuk minyak sawit sampai pada batas maksimum. Malaysia sebagai penghasil minyak sawit terbesar kedua mengambil langkah sigap menghadapi regulasi India dengan memanfaatkan perjanjian dagang berupa Comprehensive Economic Cooperation Agreement (CECA) yang telah ditandatangani 2011 dengan perundingan lanjutan di Free Trade Agreement.
Kesepakatannya menghasilkan diskon bea masuk impor refined products yang lebih rendah dibandingkan bea masuk yang dikenakan kepada Indonesia. Tarif bea masuk refined product dari Malaysia 45% dari tarif berlaku 54%.
Dari diskon tarif bea masuk yang dinikmati Malaysia itu, pasar minyak sawit Indonesia ke India kian tergerus. Lantaran, pasar India didominasi oleh Malaysia. Menyikapi hal ini, pemerintah Indonesia diharapkan dapat segera mengakselerasi kerja sama ekonomi dengan India untuk pemberlakuan tarif impor yang sama, sehingga Indonesia dapat berkompetensi memeriahkan pasar India.
Berikutnya adalah Uni Eropa, sejak diadopsinya Delegated Act RED II Maret lalu, tidak dapat dipungkiri telah ikut membangun sentimen negatif pasar minyak sawit Indonesia di Eropa. GAPKI mencatatkan ekspor CPO dan turunannya ke Benua Biru ini terus tergerus.
Pada April 2019, ekspor CPO dan turunannya dari Indonesia tercatat menurun 37% dibandingkan Maret. Selanjutnya pada Mei kembali melorot 4% dibandingkan April (Maret 498,24 ribu ton, April 315,24 ribu ton dan Mei 302,16 ribu ton). Lagi-lagi regulasi tujuan ekspor yang menjadi hambatan dagang.
Pasar utama ekspor lain yang juga mengalami dinamika adalah China. Pada April, membukukan kenaikan impor sebesar 41% dibandingkan Maret (dari 353,46 ribu ton meningkat menjadi 499,57 ribu ton) kemudian pada Mei melorot 18% (atau dari 499,57 ribu ton turun menjadi 410,56 ribu ton). Hal ini juga diikuti oleh Bangladesh.
Dalam catatan Gapki pada April 2019, ekspor minyak sawit Indonesia secara total (CPO dan turunannya, olechemical dan biodiesel) mengalami penurunan 18 persen dibandingkan total ekspor pada Maret lalu, atau dari 2,96 juta ton menurun menjadi 2,44 juta ton.
Pada Mei 2019 total ekspor minyak sawit Indonesia mencapai 2,79 juta ton atau naik 14 persen dibandingkan dengan total ekspor pada bulan sebelumnya.
Sementara itu total ekspor khusus CPO dan turunannya (tidak termasuk oleochemical dan biodiesel) pada April 2019 mencatatkan penurunan 27 persen atau dari 2,76 juta ton di Maret menurun menjadi 2,01 juta ton di April.
Sementara pada bulan Mei total ekspor tercatat mencapai 2,40 juta ton atau meningkat 18 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Beralih kepada penyerapan Biodiesel di dalam negeri. Sepanjang April serapan biodiesel di dalam negeri hanya mampu mencapai 516 ribu ton atau terkikis 2% dibandingkan Maret lalu. Pada Mei ini serapan menunjukkan progress yang positif yaitu mencapai 557 ribu ton atau terkerek 8% dibandingkan April.
Melihat dinamika pasar global yang terus bergejolak terutama sentimen regulasi dari negara tujuan ekspor, berkombinasi dengan cukup tingginya stock di Malaysia dan Indonesia, Pemerintah Indonesia diharapkan dapat segera mengakselerasi implementasi B30 segera setelah road test atau uji coba kendaraan selesai dilakukan di Oktober 2019.