Kementerian Perdagangan RI mencatat tren positif perkembangan nilai ekspor CPO dan produk turunannya selama 5 tahun terakhir. Perluasan pasar baru menjadi opsi untuk mencegah imbas penerapan EU Deforestation-Free Regulation (EUDR).
Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan – Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, Farid Amir menyampaikan selama 5 tahun terakhir terjadi peningkatan nilai ekspor CPO dan produk turunannya sebesar 20,18%. Tetapi, tren pasar CPO dan produk turunannya pada 2021 – 2022 hanya meningkat 11,01%.
“Tren peningkatan nilai ekspor dipengaruhi peningkatan harga dan hilirisasi produk ekspor. Nilai ekspor CPO mengalami penurunan, tetapi produk turunan sawit (RBD Palm Stearin, RBD Palm Oil, dan RBD Palm Olein) meningkat,” ujar Farid, saat menjadi pembicara kunci dalam kegiatan Promosi Sawit Sehat dan Pengumuman Lomba Kreasi Makanan untuk UKMK Serta Masyarakat yang diadakan Majalah Sawit Indonesia dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) di Jakarta, Rabu (14 Juni 2023).
Dalam presentasi Farid Amir berjudul Tantangan Perdagangan CPO dan Produk Turunannya di Pasar Global, tercatat dari sisi volume ekspor CPO dan produk turunannya pada 2018 – 2022 atau 5 tahun terakhir cenderung stabil, meski ada penurunan sedikit yaitu (-0,08%). Dengan rincian pada 2018 (34,81 juta ton), 2019 (36,24 juta ton), 2020 (33,51 juta ton), 2021 (34,50 juta ton), 2022 (35,52 juta ton).
Namun nilai ekspor sawit menunjukkan peningkatan yang ditopang harga CPO global. Secara rinci, pada 2018 (US$22,49 miliar), 2019 (US$20miliar), 2020 (US$23,31 miliar), 2021 (US$37,22 miliar), 2022 (US$41,32 miliar).
Share volume ekspor CPO dan produk turunannya RBD Palm Oil (minyak goreng) sebanyak 33%, RBD Palm Oil 20% dan CPO 10%, RBD Palm Stearin 7%, Palm Fatty Acid Distillate (PFAD) 5%, Shortening 4%, Palm Oil Mill Effluent (POME) 3%, Split Palm Fatty Acid Distillate (SPFAD) 3%, Alkohol Lemak Industri 2%, RBD Palm Kernel Oil (RBDPKO) 2%, komoditi lain 11%.
Meski kondisi ekonomi global tidak stabil, namun peluang permintaan minyak nabati yang digunakan industri makanan di dunia diprediksi akan terus meningkat seiring bertambahnya jumlah populasi penduduk dunia. PBB memprediksi pada 2050 populasi penduduk di dunia akan berjumlah 10 miliar jiwa (penduduk dunia). Permintaan minyak nabati akan menyentuh dua kali lipat dari 165 juta ton pada 2013 menjadi 307,9 juta ton.
Kementerian Perdagangan mencatat data yang diolah dari berbagai sumber, pada 2021 total produksi minyak sawit dunia mencapai 75,5 juta ton. Indonesia menyumbang lebih dari 60% dari total produksi minyak nabati dunia dan 22% dari total produk minyak nabati dunia (213,2 juta ton).
Dari angka di atas, pemangku kepentingan (stakeholders) industri sawit patut berbangga karena produksi minyak sawit Indonesia tidak kurang dari 46,8 juta ton, dan mampu mengekspor 30 juta ton pada 2021. Hal ini membuktikan produk minyak sawit Indonesia memiliki keunggulan untuk digunakan sebagai pemasok minyak nabati di dunia.
Selanjutnya, Farid mengatakan peluang minyak sawit Indonesia bisa berkontribusi masih terbuka untuk kebutuhan minyak nabati di dunia. Kendati berpeluang, tetapi perlu dicermati karena ada tantangan dan hambatan ekspor CPO dan produk turunannya.
“Ada beberapa tantangan dan hambatan ekspor CPO dan produk turunannya. Tantangan untuk mempercepat transisi dari konsep 3 pilar sustainability (economy, society, environment) menuju sistem Circular Economy. Circular Economy agar memanfaatkan limbah yang digunakan secara optimal dari proses produksi minyak nabati. seperti penggunaan Use Cooking Oil (UCO) sebagai campuran bahan baku biodiesel di masa depan,” kata Farid.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit indonesia, Edisi 140)