Indonesia memiliki target dan berkomitmen guna mencapati net zero emission di tahun 2060. Target ini tentu harus dibarengi dengan kerja sama dari berbagai pihak termasuk di sektor bioenergi.
Saat ini bauran energi di Indonesis masih didominasi dari fosil, seperti batu bara. Meskipun terdapat kenaikan angka dari jenis Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam 10 tahun terakhir, namun angka tersebut masih belum mencapai targetan di tahun 2025, yaitu 25 persen bauran energi kita berasal dari EBT.
“Seperti yang kita harapkan, di tahun 2025 itu 23 persen dari konsumsi energi kita baurannya berasal dari energi terbarukan. Sampai tahun 2023 kemarin, capaian kita baru dikisaran 13 persen, sehingga masih banyak PR kita untuk mencapai target 23 persen di tahun 2025,” ujar Direktur Aneka Energi Baru Terbarukan, Ditjen EBTKE, Kementrian ESDM, Andriah Feby Misna pada seminar “Tantangan Industri Bionergi” yang yang diadakan Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) di Jakarta (27/2/2024).
Feby juga menjelaskan dampak energi fosil yang digunakan terhadap perubahan iklim yang terjadi. Menurutnya, saat ini pemerintah juga sudah melakukan beberapa langkah, seperti meratifikasi Paris Aggrement, adanya komitmen untuk menurunkan jumlah emisi secara nasional.
Terdapat beberapa program yang dipakai pemerintah dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Pertama upaya efisiensi energi, kemudian mendorong pengembangan EBT dan adanya upaya reklamasi tambang yang digunakan untuk energi. Khususnya dalam pemanfaatkan energi EBT, biodesel menjadi penyokong terbesar utama.
“Biodiesel itu mempunyai peran yang sangat besar. Dari capaian energi terbarukan, 60 persennya itu di-support oleh biodiesel,” ungkap Feby Misna.
Bahan Bakar Pesawat Terbarukan
Selain biodesel, saat ini Sustainable Aviation Fuel (SAF) mulai dikembangkan di Indonesia sebagai bentuk implementasi pengembangan EBT.
SAF menjadi penyumbang terbesar di seluruh dunia untuk EBT dibanding dengan jenis energi yang lain. Beberapa manfaat dari SAF adalah berkontribusi terhadap kelanjutan sektor penerbangan, mengurangi dampka lingkungan dari emisi CO2 dan mendorong pertumbuhan ekonomi regional serta ketersediaan SAF dalam skala global.
“Kontribusi Sustainable Aviation Fuel (SAF) merupakan yang terbesar dibandingkan dengan inector measures lainnya,” ujar Inspektur Kelaikan Udara – Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Sayuta Senobua.
Penggunaan SAF juga berhubungan dengan target pengurangan emisi gas rumah kaca yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Maka, SAF dapat digunakan sebagai subtitusi penggunaan avtur sebagai bahan bakar pesawat.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 149)