Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mendukung peningkatan program biodiesel dari B35 menjadi B40. Dengan jumlah produksi minyak sawit mencapai 51 juta ton, kebutuhan bahan baku biodiesel dapat tercukupi.
Hal ini diungkapkan Ketua Kompartemen Media Relation Gapki Fenny Sofyan saat menjadi pembicara Workshop Jurnalis Industri Hilir Sawit di Bandung, Kamis (1/2/2024). Kegiatan ini diselenggarakan Majalah Sawit Indonesia dengan dukungan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Fenny menjelaskan bahwa performa ekspor sawit diperkirakan lesu pada tahun ini. Hal ini didorong potensi peningkatan konsumsi apa bila biodiesel B35 fully implemented di tahun 2024 diterapkan. Data Gapki menunjukkan peningkatan konsumsi minyak sawit domestik menjadi 25,4 juta ton pada 2024 atau naik 9,08% dari 23,28 juta ton pada 2023. Konsumsi biodiesel mendominasi dengan penyerapan 11,6 juta ton.
“Pada 2024, apa bila implementasi B40 dijalankan maka konsumsi minyak sawit di dalam negeri akan bertambah sekitar 2 juta ton menjadi 27,4 juta ton dari perkiraan awal sebesar 25,4 juta ton,” kata Fenny.
Fenny menambahkan penggunaan terbesar untuk makanan dan biodiesel, sedangkan sisanya untuk industri oleokimia. Penggunaan dalam negeri dibandingkan produksi meningkat dari 28% pada 2018 menjadi 41% pada 2022.
Di sisi lain, Fenny menuturkan, produksi CPO/CPKO Indonesia stagnan selama 4 tahun, sementara penerapan biodiesel terus memicu peningkatan konsumsi domestik untuk pangan, biodiesel, oleochemical.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) memproyeksikan pertumbuhan permintaan dalam negeri dan ekspor tidak mampu diimbangi peningkatan produktivitas sawit dalam lima tahun terakhir.
“Dampak El Nino di tahun 2023, sedikit banyak akan mempengaruhi penurunan produksi hingga 2024 mrskipun tidak terlalu signifikan. Realisasi Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) sangat rendah,” jelas Fenny yang juga menjabat Vice President Communication PT Astra Agro Lestari Tbk.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mendorong kedepannya ada satu badan khusus yang mengurusi sawit nasional. Sebab, selama ini tidak kurang 31 kementerian/lembaga yang mengurusi komoditas terbesar Indonesia ini.
Ketua Kompartemen Media Relation Gapki Fenny Sofyan mengatakan banyaknya lembaga yang mengurusi sawit, berdampak negatif terhadap pertumbuhan industri hulu-hilir sawit.
“Sejak 2006 sawit itu sudah memberikan devisa negara bahkan sudah jadi produsen CPO terbesar. tapi kok masih tidak ada kepastian investasi. Misalnya apa, kita harus menghadapi 30 kementerian/lembaga mengurus sawit. Bagi iklim sawit itu mengganggu. Lalu tumpang tindih aturan, itu buat kami sulit,” ujar Fenny.
Dia mengungkapkan Indonesia juga sebelum sawit pernah memiliki komoditas unggulan seperti gula, kakao hingga garam yang pernah berjaya justru sekarang redup. Untuk sawit pun, lanjut Fenny, saat ini mengalami stagnasi produksi dalam beberapa tahun terakhir yang hanya di 51 juta ton.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 148)