Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) melaporkan perkembangan terkini petani kelapa sawit di 22 provinsi se-Indonesia yang semakin terpuruk akibat anjloknya harga TBS (Tandan Buah Segar) sawit.
Dr. Gulat ME Manurung, MP.,C.IMA, Ketua Umum DPP APKASINDO menjelaskan bahwa perkembangan harga CPO secara global (baik di bursa Rotterdam maupun di Bursa Malaysia dalam 2 minggu terakhir mengalami penurunan signifikan sebagai akibat penurunan harga minyak nabati non minyak sawit sehingga mengakibatkan terjadinya persaingan harga.
Dampak dari persaingan ini adalah penurunan permintaan minyak sawit dari negara pembeli utama yaitu India. Dijelaskan Gulat bahwa India lebih cenderung menggunakan minyak nabati selain sawit seperti minyak nabati dari kedelai dan bunga matahari.
Dibandingkan Bursa Malaysia, dikatakan Gulat, bahwa penurunan harga CPO yang diperdagangkan KPBN (PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara) jauh lebih dalam khususnya dalam 3 minggu terakhir.
Situasi ini berimbas kepada harga TBS petani sawit yang telah dirasakan semenjak 3 bulan terakhir. Walaupun, harga CPO global baru menunjukkan grafik melemah dalam 3 minggu terakhir.
Sebelum masuk bulan puasa, rerata harga TBS dibeli pabrik sawit antara Rp1.900-2200/kg TBS untuk petani swadaya. Sedangkan, harga TBS Petani Bermitra rerata Rp2450-Rp2800/Kg.
“Namun, sejak tiga minggu terakhir harga TBS petani swadaya sudah anjlok menjadi Rp1.450-Rp1.800/Kg. Untuk petani bermitra, harga TBS turun rerata Rp1.800-Rp2.400/kg. Sementara, harga pokok produksi TBS Rp1850-2.150/Kg. Artinya, petani sudah merugi,” kata Gulat.
Selisih kerugian yang harus ditanggung petani sawit sebesar Rp500-Rp750/kg TBS. Gulat mengatakan situasi ini diperparah dengan lonjakan harga pupuk rerata yang menjadi Rp900 ribu/sak 50 kg, dari sebelumnya Rp 350 ribu-Rp 400 ribu/sak 50 kg. Akibatnya banyak sekali petani yang memilih tidak memupuk dan terjebak dengan pupuk palsu.
Gulat mengatakan kecenderungan pembelian harga TBS petani yang tidak sepadan dengan penurunan harga CPO cenderung dilakukan pabrik sawit tanpa kebun.
“Kami melihat hal ini dengan leluasa dilakukan pabrik kelapa sawit (PKS) ini karena minimnya pengawasan dari pihak pejabat berwenang dan lemahnya Permentan 01/2018 untuk menjaga harga TBS petani. Intinya PKS keterlaluan maruk dan rakus” tegas Gulat.
Menyikapi harga TBS sawit yang semakin rendah, Gulat mengatakan pemerintah segera mengevaluasi kebijakan perkelapa sawitan Indonesia yang semakin terpuruk. Sebagaimana dikatakan Jend. TNI (Purn) Moeldoko, Ketua Dewan Pembina APKASINDO bahwa kondisi sawit sedang tidak baik-baik saja.
“Kepada Bapak Luhut Panjaitan selaku MenkoMarves, Bapak Airlangga Hartarto, Menko Perekonomian RI, Ibu Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan, Bapak Syahrul Yasin Limpo Menteri Pertanian RI, dan Jenderal Moeldoko selaku Kepala KSP RI yang juga Ketua Dewan Pembina APKASINDO segera melakukan evaluasi kebijakan perkelapa sawitan Indonesia karena kondisi petani semakin dalam keadaan tidak baik-baik saja,” ujar Doktor Ilmu Lingkungan ini.
Karena itulah, tegas Gulat, APKASINDO mengajukan lima tuntutan kepada pemerintah. Pertama, mengevaluasi patokan Harga Referensi CPO Kemendagdan mengkaji patokan harga TBS Petani ke Harga Referensi Kemendag, menjelang berdirinya Bursa Sawit Berjangka.
Kedua, melakukan pengawasan tegas terhadap pembelian TBS Petani oleh pabrik sawit dan proses tender CPO di KPBN, terkhusus pengawasan oleh aparat penegak hukum.
Ketiga, segera revisi Permentan 01/2018. Keempat, mengevaluasi kebijakan Rasio Ekspor CPO dan Singkronkan Beban DMO dan DPO terhadap Beban Pungutan Ekspor, Serta relaksasi untuk sementara kebijakan Pungutan Ekspor CPO.
Kelima, BPDPKS supaya segera keluar dari zona nyaman karena lembaga ini dibentuk untuk stabilisasi harga CPO dan Menjaga stabilitas hargaTBS petani.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 139)