JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Niatan pemerintah mempercepat Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) tidak semudah membalik telapak tangan. Beragam kendala di lapangan masih ditemukan mulai dari legalitas sampai kelembagaan. Bahkan ada pula petani yang mundur dari PSR. Apa penyebabnya?
Heru Tri Widarto, Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar Kementerian Pertanian RI, mengakui banyak petani sawit yang mundur dari program Peremajaan Sawit Rakyat. Ada banyak faktor membuat petani tidak melanjutkan program penggantian tanaman berusia tua ini.
“Ada yang mundur saat mengusul. Namun, adapula yang mundur setelah dana ditransfer. Alasannya macam-macam. Ada petani yang enggan remajakan sawitnya karena masih menghasilkan. Apalagi Harga TBS sawit sedang bagus,” ujar Heru saat dihubungi via telepon, Kamis (1 Juli 2021).
Selain itu, kata Heru, alasan lainnya adalah perbedaan pendapat di dalam kelembagaannya soal pemanfaatan dananya. Tapi adapula yang berkaitan persoalan hukum.
Ketika ditanyakan jumlah petani yang mundur. Heru menyarankan untuk bertanya ke BPDP.”Silakan tanya ke BPDP,” jelasnya.
Kabul Wijayanto, Plh Direktur Penghimpunan Dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKKS) mengakui ada banyak petani yang mundur dari program PSR. Ada lima penyebab yang membuat petani enggan untuk menumbang serempak pohon.
Pertama, adanya keraguan pekebun dengan keputusan untuk menumbang serempak pohon yang masih menghasilkan karena penghasilan mereka akan hilang.
Kedua, harga Tandan Buah Segar sawit yang masih tinggi. Alhasil petani belum tertarik untuk meremajakan tanaman.
Ketiga, pekebun yang bersangkutan meninggal dunia dan ahli waris tidak ingin melanjutkan.
Keempat, pekebun merasa lelah dan khawatir dengan panggilan serta permintaan keterangan dari aparat Penegak Hukum.
Kelima, calon Lahan yang akan digunakan untuk mengikuti program PSR terkena proyek Pemerintah seperti pembangunan jalan tol atau jalur sutet.
Ketika ditanyakan data jumlah petani yang mundur. Kabul meminta waktu untuk mengumpulkan data terlebih dahulu. “Ini supaya datanya valid dan dapat dipertanggungjawabkan,” ujar pria kelahiran Demak tahun 1971 ini.
Untuk mendukung percepatan PSR, dikatakan Kabul, BPDP Kelapa Sawit terus melakukan kerja keras, kerja cerdas dan kerja tuntas agar PSR berhasil mencapai target, output, outcome dan tujuan bagi peningkatan kesejahteraan petani.
Makna kerja keras, dikatakan Kabul, artinya kebersamaan dalam kerja seluruh pihak dari sisi kebijakan (Komrah), regulasi (Kementan, Kemen ATR, KemenKLHK, Kemendagri, dll) dan implementasi di lapangan (dinas provinsi, dinas kabupaten/kota, pihak ketiga, dll termasuk asosiasi pekebun dan kelembagaan lain pekebun).
“Penyaluran dana oleh BPDPKS dilakukan melalui instrumen program penyaluran dana PSR yang merupakan kebijakan dan kewenangan dari Kementerian Pertanian. Desain pelaksanaan maupun panduan pelaksanaan program ditetapkan oleh Kementerian Pertanian (Permentan No.7 tahun 2019),” ujar Kabul.
Arti kerja cerdas yaitu BPDPKS melakukan evaluasi dan menyampaikan usulan/ide untuk memperbaiki masalah dan kendala di lapangan khususnya terkait penyaluran dana agar menjadi regulasi selain melaksanakan arahan kebijakan dari Komite Pengarah.
Sementara itu, kerja tuntas berarti program PSR benar-benar harus dirasakan, dinikmati dan benar-benar diterima manfaatnya secara riil oleh petani sawit sehingga kejahteraan mereka meningkat dengan senantiasa melakukan monitoring dan evaluasi atas realisasi pembangunan kebun serta penggunaan benih unggul dan berkualitas hasil PSR.
Dr (c) Gulat ME Manurung, MP, CAPO, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) menjelaskan bahwa petani mundur dari program PSR harus dikelompokkan menjadi dua kategori. Pertama, mundur sebelum diterima permohonan PSR. Kedua, mundur setelah diterima permohonan PSR Petani.
“Nah yang mundur sebelum diterima permohonan PSR-nya ini cenderung karena kesal dan bercampur marah karena petani bolak-balik disuruh memperbaiki dokumen sampai setahun. Sialnya terindikasi pula dalam kawasan hutan,” ujar auditor ISPO ini.
Kategori kedua, petani mundur setelah permohonan PSR disetujui. Lantaran cemas dipanggil aparat penegak hukum karena ada tuduhan hukum.
“Petani ciut nyalinya ketika aparat silih berganti memanggil. Lalu membuat BAP Petani peserta PSR. Dengan alasan diduga ada tindak pidana korupsi. Jadilah, petani antri dipanggil aparat. Padahal, kalau pakai dalil korupsi ya harus uang negara dan penyelenggara negara pelakunya. Tapi inikan bukan uang negara, lah lalu bagaimana ?” tanya Gulat.
Gulat menegaskan AKASINDO sepakat apabila dana PSR disalahgunakan kelompok tani/KUD maupun kerjasama penyelewengan dengan pihak lain. Maka, tindakan hukum tegas.
Tapi, menurutnya, perlu selektif juga dalam pemanggilan petani karena program PSR ini bukan APBN atau APBD.
“Kami mohon kepada aparat penegak hukum demi suksesnya PSR ini. Dan Indonesia sangat berharap keberhasilan PSR Petani untuk naik kelas menjad petani produktivitas tinggi untuk Setara dengan korporasi. Penting untuk dicatat, bahwa 1.000 ha kebun korporasi itu setara dengan 1 ha kebun petani. Jadi multipliecr effect sangat besar di kebun petani,” ujar Gulat menutup pembicaraan.