Tak hanya perusahaan perkebunan, kalangan petani mandiri dan swadaya akan dilibatkan sebagai peserta sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Hambatan yang dihadapi adalah petani butuh waktu lama untuk pahami dan terapkan aturan ini.
Setelah proses ujicoba draf prinsip dan kriteria ISPO untuk petani, tim Komisi ISPO mendapatkan temuan sebagai bahan pertimbangan. Kegiatan uji lapangan ini berlangsung di beberapa daerah seperti Riau, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan. Nantinya, persyaratan sertifikasi ISPO petani terbagi atas petani plasma dan swadaya.
Suswono, Menteri Pertanian, dalam sambutannya yang dibacakan Hari Priyono, Sekretaris Jendral Kementerian Pertanian, mengatakan tahun ini akan diperkenalkan dua skema sertifikasi perkebunan sawit berkelanjutan yang terbagi atas skema petani plasma dan swadaya. Bedanya, persyaratan ISPO petani plasma akan berada dibawah tanggung jawab perkebunan inti. Sementara, petani swadaya akan dilaksanakan sendiri kegiatannya.
“Keikutsertaan pekebun dalam skema ISPO adalah wajib karena penerapannya sesuai dengan aturan yang berlaku,” ujar Hary pada pembukaan Seminar ISPO pada 24-25 September 2013 di Jakarta.
Yang membedakan ISPO perusahaan perkebunan dan petani berdasarkan jumlah prinsip yang harus dipenuhi dalam proses sertifikasi. Dari data Komisi ISPO, tujuh persyaratan wajib dijalankan perusahaan yaitu sistem perizinan, manajemen perkebunan (pedoman teknis budidaya dan pengolahan kelapa sawit, penundaan izin lokasi pemberian hak atas tanah untuk usaha perkebunan, pengelolaan dan pemantauan lingkungan, tanggung jawab terhadap pekerja, tanggung jawab sosial dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, dan peningkatan usaha secara berkelanjutan.
Lalu bagaimana dengan petani swadaya dan plasma? Untuk petani plasma, persyaratan yang harus dipenuhi serupa dengan perusahaan perkebunan minus penundaan izin lokasi pemberian hak atas tanah untuk usaha perkebunan.
Rosediana Suharto, Ketua Harian Komisi ISPO, menyebutkan dari temuan tim ISPO bahwa lahan petani plasma pada umumnya legal dapat dari lahan bekas program PIR atau lahan milik petani sendiri yang berupa sertifikat Hak Milik atau kepemilikan legal.
Bentuk legalitas lainnya adalah petani bermitra dengan lahannya yang dimiliki sendiri atau bisa tanah ulayat dan tanah milik desa. Bagi koperasi petani dan kelompok nantinya diwajibkan mengantongi izin dari pejabat berwenang.
Bagi petani plasma akan diuntungkan karena berada di bawah pembinaan perusahaan kebun sebagai pihak inti. Menurut Rosediana Suharto, kebun plasma yang berkewajiban izin lingkungan menjadi tanggung jawab pihak inti. Oleh karena itu, petani harus diajari pengetahuan mengenai flora dan fauna di sekitar kebun sebagai contoh apabila ditemukan satwa langka wajib dilaporkan kepada penanggung jawab plasma atau dikembalikan langsung ke habitat hewan.
Terkait dengan tanggung jawab sosial dan pemberdayaan petani, pada kenyataanya di lapangan sudah banyak koperasi sawit yang berperan dalam membantu sekolah dan masyarakat sekitar. Hal ini sangat mungkin dilakukan karena anggota koperasi dapat berasal dari lingkungan masyarakat sekitar.
Tantangan terberat dihadapi petani mandiri dalam pelaksanaan sertifikasi nantinya. Walaupun, hanya empat prinsip yang wajib dijalani antara lain sistem perizinan, manajemen perkebunan (pedoman teknis budidaya dan pengolahan kelapa sawit, pengelolaan dan pemantauan lingkungan, dan peningkatan usaha secara berkelanjutan.
Berdasarkan temuan Tim ISPO, pada umumnya kebun sawit dibawah pengelolaan petani swadaya berstatus lahan tidak jelas. Bukti administrasi dapat terlihat dari sebagian besar lahan berstatus SKT, surat garap, akta jual beli tanah, girik atau tidak berstatus. Kondisi inilah yang mesti menjadi perhatian dari ISPO. Rosediana Suharto, mengatakan keberadaan Badan Pertanahan Nasional yang duduk dalam tim ISPO akan membantu masalah legalitas yang dihadapi petani swadaya. Asalkan, lahan mereka tidak berada di kawasan hutan lindung dan taman nasional.
Beberapa waktu lalu, Asmar Arsjad, Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia, mengakui banyak petani sawit mandiri yang lahan sawitnya tidak bersertifikat. Faktor penghambat disebabkan petani minim dana untuk pengurusan sertifikat. Janji Badan Pertanahan Nasional yang membantu petani lewat Program Nasional Pensertifikatan Tanah (Prona) sebatas wacana.
“Prona ini program pemerintah yang dibiayai APBN, itukan semestinya gratis. Tetapi kenyataannya, petani mesti setor biaya lagi kalau bikin sertifikat. Tanpa sertifikat, petani kesulitan mendapatkan pinjaman dari perbankan,” kata Asmar.
Temuan lain yang ditemukan di lapangan terkait manajemen perkebunan antara lain pembukaan lahan dan penanaman belum sesuai dengan ketentuan praktek pertanian yang berkelanjutan. Selain itu, banyak sekali bibit palsu yang digunakan petani kalaupun bersertifikat pada umumnya tetap palsu. Kemudian, penanaman lahan sawit di daerah terlarang antara lain sempadan sungai, sekitar mata air, danau, waduk, dan pantai yang mengakibatkan rusaknya hutan bakau, dan lahan menjadi erosi. Ditemukan pula masalah sejumlah penanaman di lahan gambut yang kurang didukung pengelolaan baik akibatnya produktivitas rendah dan tanah gambut terekspor yang mengeluarkan gas rumah kaca.
Hal lain yang berkaitan dengan pengangkutan hasil yaitu kegiatan pemanenan petani swadaya terkadang diambil pedagang pengumpul lebih dari 24 jam serta pengambilan buah sawit bercampur buah mentah. Kegiatan ini menyebabkan harga pembelian buah sawit di pabrik menjadi rendah.
Rosediana Suharto mengatakan berbagai masalah tersebut akan dibantu pemerintah supaya petani dapat disertifikasi lewat anggaran pemerintah. Lalu adapula dukungan dari anggaran kerjasama antara Kementerian Pertanian dengan UNDP dibawah proyek Sustainable Palm Oil. Lewat cara ini kemampuan petani untuk menerapkan praktek budidaya sawit berkelanjutan akan ditingkatkan.
“Sertifikasi petani ini lebih praktis dan berbiaya rendah jika dilakukan berkelompok dengan membentuk kelompok legal,” ujarnya.
Khusus petani, pemerintah akan memberikan kelonggaran untuk pendaftaran sertifikasi. Sebab, kalangan perusahaan perkebunan diwajibkan daftar ISPO selambat-lambatnya 31 Desember 2014. Rusman Heriawan, Wakil Menteri Pertanian, sempat mengungkapkan bahwa sertifikasi ISPO petani rakyat mendapatkan kelonggaran waktu sampai 2015, yang akan didukung pemerintah lewat berbagai macam insentif.
Dirinya meminta pula perusahaan perkebunan menyokong petani untuk bisa mendapatkan sertifikat ISPO. Caranya, membina pola budidaya sawit yang berkelanjutan dan sesuai kaidah yang baik.
Rosediana Suharto mengakui banyak petani yang bertanya apa keuntungan yang mereka peroleh apabila mengikuti sertifikasi ISPO. Jawaban paling mendasar adalah mereka diwajibkan mengikuti. Meski demikian, pihak Komisi ISPO sedang mengkaji manfaat yang akan diberikan kepada petani penerima sertifikat ISPO, misalkan membuat mekanisme pemberian harga supaya TBS dapat dijual via online. (Qayuum Amri)