APKASINDO, mengapresiasi penghapusan pungutan ekspor sawit sampai 31 Agustus 2022. Namun perlu dicatat bahwa anjloknya harga TBS sawit tidak semata disebabkan kebijakan pungutan ekspor melainkan ada pula beberapa faktor yang justru lebih menekan terutama patokan harga CPO Indonesia.
Dr Gulat ME Manurung MP, C.IMA, Ketua Umum DPP APKASINDO, menjelaskan bahwa dalam dua minggu terakhir ini harga CPO di pasar dunia cenderung turun, ini berarti memperkuat argumen supaya kebijakan Domestic Market Obligation, Domestic Price Obligation, dan Flush Out segera dievaluasi. Karena filosofi DMO memastikan ketersedian bahan baku Minyak Goreng Sawit (MGS) di dalam negeri. Selanjutnya ditetapkan pula harga pembelian untuk bahan baku MGS atau Domestic Price Obligation sebesar Rp10.700/kg CPO. Padahal sekarang ini harga CPO domestik katakan dari tender CPO KPBN sudah di angka Rp8.000/kg.
“Begitu pula stok CPO Indonesia saat ini sangat berlimpah faktanya tangki timbun CPO di 1.118 PKS se-Indonesia sudah level merah. Ini aneh saja tetap membebankan DMO dan DPO sawit,” ujar Gulat.
Yang menjadi persoalan lain adalah pemerintah menggunakan harga referensi berbeda-beda dalam penentuan kebijakan. Apkasindo meminta ketegasan pemerintah untuk menggunakan harga referensi dari Kementerian Perdagangan dalam perhitungan harga TBS sawit di tingkat provinsi.
Berikut ini analisis Dr Gulat ME Manurung MP, C.IMA, Ketua Umum DPP APKASINDO, berkaitan persoalan ekspor dan harga TBS sawit petani yang kami rangkum melalui tanya jawab sebagai berikut:
Bagaimana Dampak Penghapusan PE sawit yang berlaku 15 Juli sampai 31 Agustus 2022?
Dalam harga CPO Indonesia terdapat tiga rujukan harga yaitu harga referensi Kementerian Perdagangan, harga Rotterdam, dan harga tender KPBN.
Jika kita berpatokan kepada harga Referensi Kementerian Perdagangan sebesar US$1.615/ton (merujuk harga referensi bulan Juli). Jika dikurangi beban baik pungutan dan beakeluar sebesar US$488 maka harga CPO Indonesia adalah Rp16.900/kg dan harga TBS Petani harusnya Rp3.380/kg.
Jika kita berpatokan keharga CPO Roterdam per 13 Juli lalu sebesar US$1.205/ton dikurangi beban-beban US$488 (FO+BK) hasilnya US$717/ton. Ini artinya harga CPO Indonesia menjadi Rp10.755/kg yang jika dikonversikan ke harga TBS kami Petani berarti Rp2.150/kg.
Bagaimana dengan jika kita berpatokan kepada harga KPBN? Harga CPO KPBN katakan Rp8.000/kg, jika dihitung dampak penghapusan PE (US$200 = Rp3.000/kg CPO), maka harga CPO akan naik Rp3.000/kg CPO, maka harga KPBN menjadi Rp11.000/kg CPO artinya harga TBS kami petani minimum jatuh diharga Rp2.200/kg TBS.
Berpatokan kepada harga TBS versi rujukan harga Roterdam dan KPBN ini, dibandingkan keharga produksi per kilogram TBS (HPP) yang mencapai Rp1.850-Rp2.250/kg TBS, tentu ini masih sangat jauh dari sejahtera apa lagi pabrik selalu menekan harga TBS kami petani paling tidak Rp.500/kg dari harga Disbun.
Bagaimana Dengan DMO, DPO dan FO ? Apakah masih relevan saat ini ?
Melihat harga CPO Global yang cenderung turun dalam dua minggu terakhir semakin menguatkan argumen supaya DMO, DPO dan FO segera dievaluasi. Memang ada yang aneh karena filosofi DMO itu memastikan ketersediaan bahan baku minyak goreng sawit di dalam negeri dengan patokan harga pembelian untuk bahan baku MGS tersebut sebesar Rp10.700/kg CPO. Sementara sekarang ini harga CPO domestik merujuk tender KPBN sudah berada diangka Rp8.000/kg. Terkai tstok CPO Indonesia saat ini malah sangat berlimpah sampai-sampai tangki timbun CPO di 1.118 PKS se-Indonesia sudah level merah. Inilah yang membuat aneh karena dibebankan DMO dan DPO.
Per awal Juli 2022, stok CPO Indonesia 12,4 juta ton, katakan konsumsi per bulan Juli ini 1,5 juta ton, berarti ada stok yang sangat berlimpah sebesar 10,9 juta ton. Normalnya stok dalam negeri 3 juta-4 juta ton/bulan, berarti sudah 300% diatas normal. Jadi seharusnya regulasi DMO dan DPO harus segera dicabut karena faktanya DMO dan DPO ini selalu masuk dalam faktor pengurang saat tender seperti di KPBN.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 129)