Penerapan biodiesel hingga saat ini banyak dinilai sukses baik dari sisi lingkungan maupun dari sisi penghematan devisa. Kementerian ESDM mencatat pada 2023 biodiesel telah menghemat devisa negara lebih Rp122 triliun dan penurunan gas rumah kaca sebesar 132 juta ton CO2.
Meski demikian, terdapat sejumlah tantangan dalam program mandatori biodiesel baik dari sisi bahan baku maupun kendala teknis di lapangan, terutama saat pemerintah berencana meningkatkan B35 menjadi B40.
Ketua Umum DPP APKASINDO Dr. Gulat ME Manurung, menjelaskan ketersediaan CPO untuk B40 masih cukup. Namun ketika di naikkan ke B50 maka semua produk CPO Indonesia (2023, misalnya 48 juta ton) akan habis untuk kebutuhan domestik seperti pangan, oleokimia, medis dan Biodisel B50 tadi, itupun dengan asumsi bahwa kebutuhan sektor pangan domestik tidak naik.
“Kalau kita maju terus dari B40 kita akan stop pada B50. Karena akan defisit 1,24 juta ton CPO jika patokan kita ke volume CPO tujuan ekspor tahun 2023 lalu sebesar 2,04 juta ton (outlook GAPKI, 2023), sehingga jika B50 akan engga ada lagi ekspor CPO kita,” ujar Gulat dalam diskusi yang diselenggarakan di sela-sela event Gaikindo Commercial VEHICLE EXPO 2024 yang juga bekerja sama dengan Majalah Sawit Indonesia bertajuk “Rencana Penerapan B40: Manfaat dan Tantangan” di Jakarta Convention Center, Jumat (8/3/2024).
Gulat mengatakan semakin berkurangnya ekspor Indonesia karena ekspor akan lebih banyak dalam bentuk refining product, biodiesel, palm kernel. Selain itu, program biodiesel Indonesia dalam bentuk mandatori artinya semua stakeholder sawit wajib dukung. ”Kalau engga ekspor kita engga ada devisa negara. Ini berbahaya. Kalau ini terjadi, sudah kami diskusikan dengan berbagai pakar dan kita simulasikan, kebutuhan sekian juta ton untuk B50 kita akan minus.”
Dikatakan Gulat, program B35 menyerap 13,15 juta kiloliter CPO. Kedepannya, kata dia, kebutuhan CPO untuk dalam negeri dan dunia pasti akan terus bertambah. Namun, di saat bersamaan, produksi sawit nasional semakin menurun akibat tanaman tua, kebun sawit rakyat tidak produktif dan terganggunya target Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) oleh beban regulasi yang negatif terhadap target.
“Jadi wajar saja Bill Gates mengambil posisi Indonesia yang sedang terlena ini melalui minyak nabati rekayasa teknologi yang mirip dengan minyak nabati sawit, yang disebut dengan nama C-16. Meskipun C16 hanya menyerupai tapi patut menjadi ancaman bagi Indonesia sebagai produsen CPO tersebesar yang sedang terlena,” tuturnya.
Hal ini semakin diperparah dengan ancaman Pasal 110B turunan UUCK yang tertuang dalam PP 24 tahun 2021 sebagaimana disampaikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Permen LHK Nomor 7 Tahun 2021 dan aturan LHK Lainnya.
Menurut aturan tersebut tidak memberikan kesempatan replanting (hanya 1 daur) yang terkena pasal 110-B yang potensi luasnya menurut perhitungan kami dari sumber data SK Datin KLHK (1-14) seluas 2,8 juta ha dari 3,4 juta ha yang diklim KLHK dalam kawasan hutan tidak berhutan.
“Dan akibat kehilangan 2,8 juta ha ini, maka 5-10 tahun kedepan Indonesia akan kehilangan 12,062 juta ton CPO per tahun dan Rp131 Triliun per tahun, belum lagi dampak sosial, ekonomi, kamtibmas, sebagai akibat Pasal 110B tadi,” jelas Gulat.
“Jikapun yang terkenan Pasal 110-B tersebut dipaksakan, emang dari mana uang negara untuk menghutankannya kembali 2,8 juta hektar ?, yang saat ini sudah ikrah saja masih belum ada yang dihutankan kembali sesuai putusan hakim, pada hal sudah puluhan tahun lalu diptuskan pengadilan,” tambah Gulat yang juga Ketua Bravo-5 relawan Jokowi.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 149)