Dasar pemikiran mengapa kita perlu melakukan reinterpretasi, reorientasi, dan reaklualisasi pembangunan nasional adalah bahwa fakta dalam periode kurang-lebih 70 tahun pasca kemerdekaan Indonesia, yang terjadi dengan perekonomian bukannya menjadi bangun perekonomian yang semakin maju dan kokoh tetapi sebaliknya mengalami kemunduran, yaitu terjadinya proses detransformasi perekonomian Indonesia.
Sebagai ilustrasi, pada 2022 komposisi sektor jasa dalam PDB Korea Selatan, sebagai ekonomi negara maju, adalah 58.03 persen, sektor industri 31.73 persen dan sektor pertanian kurang dari 2 persen. Sekitar 70 persen pekerja di Korea Selatan diserap oleh sektor jasa.
Pada tahun yang sama, komposisi PDB Indonesia adalah pertanian, kehutanan dan perikanan 12.4 persen, manufaktur 18.3 persen, pertambangan 12.2 persen dan sisanya sektor jasa serta sektor-sektor lainnya.
Bukannya meningkat, Indonesia malahan mengalami penurunan kontribusi sektor manufaktur dari 26.0 persen pada 1997 menjadi 18.3 persen pada 2022 dari nilai PDB nasional; atau terjadi penurunan sebesar 7.7 persen. Pada tahun 1997 PDB Indonesia ( harga berlaku) mencapai US $ 215.75 milyar, meningkat menjadi US$ 1.32 triliun pada tahun 2022. Selisih PDB Indonesia tahun 2022 dengan PDB Indonesia 1997 adalah US$ 1104.25 triliun. Dengan demikian nilai penurunan PDB manufaktur Indonesia sebesar 7.7 persen dalam periode tersebut mencapai kurang-lebih US$ 85.02 miliar. Nilai ini setara dengan nilai rupiah pada bulan April 2024 sekitar Rp 1317.92 triliun Selain berdampak terhadap pendapatan nasional, penurunan peran sektor manufaktur tersebut merupakan indikator yang sangat berbahaya dalam upaya peningkatan nilai tambah dalam proses transformasi ekonomi nasional.
Kita layak menggunakan istilah detransformasi ini mengingat proses transformasi positif telah berkembang paling tidak sejak tahun 1970 hingga tahun 1997. Pada periode 27 tahun ini, kontribusi sektor manufaktur meningkat dari kurang lebih 10 persen dari PDB nasional pada tahun 1970 menjadi 26 persen pada tahun1997 atau kontribusi sektor manufaktur meningkat 16 persen dalam tempo 27 tahun.
Indikator detransformasi kedua adalah melemahnya sektor pertanian. Pelemahan sektor pertanian ini dapat diperlihatkan oleh guremisasi pertanian rakyat yang terjadi bersama andengan fakta usaha perkebunan besar mendominasi penggunaan lahan yang sebelumnya berstatus kawasan hutan negara menjadi aset perusahaan perkebunan besar Pada tahun 2021 menurut BPS jumlah perusahaan perkebunan besar ada 3557 unit dimana 2892 unit atau 81.3 persen adalah perusahaan perkebunan besar kelapa sawit Andaikan perkebunan kelapa sawit yang dimiliki oleh perusahaan perkebunan besar 12.3 juta hektar, maka per perusahaan perkebunan besar menguasai lahan rata-rata sekitar 4253 hektar Pada kenyataannya, kepemilikan lahan perkebunan tersebut tidak merata. 25 perusahaan perkebunan kelapa sawit terbesar Indonesia menguasai lahan 5.8 juta hektar atau hampir setengahnya dari total luas perkebunan besar kelapa sawit Indonesia. Pola penguasaan lahan tampak sangat timpang.
Data Sensus Pertanian 2023 bahwa jumlah rumah tangga petani di Indonesia sebanyak 27.368.975 rumah tangga. Sebanyak 17.248.181 petani Indonesia merupakan petani gurem yaitu petani yang menggarap lahan kurang dari 0.5 hektar. Andaikan 12.3 juta hektar perkebunan kelapa sawit milik perusahaan perkebunan besar didistribusikan kepada seluruh petani gurem di atas maka luas lahan milik petani gurem akan meningkat rata-rata menjadi 1.22 hektar. Proses seperti ini akan terjadi apa bila struktur ekonomi yang berkembang di Korea Selatan berkembang di Indonesia. Artinya, perluasan lahan per petani akan terjadi dengan sendirinya apa bila transformasi ekonomi nasional berkembang. Sebaliknya, apa bila pola yang berlaku sekarang berlanjut maka yang akan terjadi kedua kelompok pelaku ekonomi pertanian yaitu petani gurem dan perusahaan besar pertanian khususnya perkebunan akan mengalami detransformasi secara simultan.
Sebagai ilustrasi, tanpa perkembangan industri alisasi yang berarti, dengan kesamaan asal-usul suatu bangsa yaitu Eropa, dapat dilihat perbedaan perkembangan bangsa Eropa Barat di Amerika Serikat dan Kanada dibandingkan dengan bangsa Spanyol di Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Pendapatan per kapita Argentina 1860, misalnya, sudah mencapai US$ 2000 dan meningkat menjadi US$ 18875 pada 2016; selama 156 tahun pendapatan Argentina meningkat kurang-lebih US$ 108.17 per tahun. Sedangkan pendapatan per kapita Jerman pada tahun 1860 berada pada posisi tidak jauh berbeda dengan pendapatan Argentina yaitu US$ 2613.00, tetapi kemudian meningkat pesat mencapai US$ 44689.00 pada tahun 2016. Pendapatan per kapita Jerman meningkat US$ 42076 selama 156 tahun atau mengalami peningkatan rata-rata US$ 269.72 per tahun. Peningkatan pendapatan per kapita Jerman ini 2,49 kali lipat atau 249 persen lebih tinggi dari pada laju peningkatan pendapatan Argentina. Kasus Argentina ini dapat dijadikan bahan pembelajaran bahwa model perkebunan besar sebagaimana yang berkembang di Argentina pada 1860-an hingga sekarang yaitu yang dikenal dengan istilah latifundia (model perkebunan besar) tidak membuka peluang besar berkembangnya industrialisasi. Sebaliknya model pertanian Jerman yang dikerjakan oleh para petani atau koperasi petani membuka berkembangnya proses industrialisasi.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 150)