Kontribusi besar sawit bagi perekonomian nasional, akan menghadapi tantangan serius baik dari dalam maupun luar negeri kedepannya. Namun, perbaikan produktivitas (hulu) dan hilirisasi (diversifikasi produk) menjadi kunci memajukan sektor sawit.
Ketua Umum Rumah Sawit Indonesia (RSI) Kacuk Sumarto mengatakan tantangan besar dari dalam negeri saat ini karena tidak imbangnya biaya produksi dengan harga jual. Menurutnya, harga pupuk dan upah merupakan 85 persen dari ongkos produksi sawit. Akan tetapi, kenaikan kedua komponen itu tidak dibarengi dengan naiknya harga jual sawit dalam beberapa tahun terakhir.
“Membandingkan 2010 dengan 2023. Upah waktu itu di Sumatera Utara Rp1,3 juta, sekarang Rp4,5 juta. Pupuk saat itu Rp2.700 per kg, tapi tahun lalu [2023] bahkan Rp11.000-an,” ujar Ketua Umum Rumah Sawit Indonesia (RSI) Kacuk Sumarto dalam diskusi itu.
Padahal, kata dia, naiknya harga sawit sangat lambat, dari Rp 9.000 sekarang bertengger hanya Rp10.500 sampai Rp 11.000 per kg.
“Artinya gap margin semakin tinggi, semakin menipis. Jika tidak ada terobosan. Dalam waktu dekat, pendapatan akan sama dengan biaya. Kalau dibiarkan kolaps semuanya,” ucap Kacuk dalam Refleksi Industri Sawit 2023 dan Tantangan Masa Depan: Mau Di bawa ke Mana Sawit Kita?” pada awal Januari 2024.
Tantangan lainnya, menurut Kacuk bahwa produktivitas sawit secara nasional masih sangat rendah, terutama sawit rakyat. Padahal, industri sawit merupakan tulang punggung ekonomi Indonesia. Di merinci, saat ini ada sekitar 16,2 juta hektar lahan sawit, dimana 40 persennya merupakan petani mandiri atau sekitar 6,5 juta hektar yang produktivitasnya rata-rata hanya 2,5 ton per tahun.
Oleh karena itu, ujar Kacuk, upaya peningkatan produktivitas di antaranya melalui program peremajaan sawit rakyat (PSR) harus dipercepat realisasinya. “Prospek industri sawit nasional 2024 tetap baik, tergantung bagaimana kita menyelesaikan berbagai hambatan, termasuk rendahnya produktivitas. Dan untuk mengupayakan hal tersebut kita butuh dukungan kebijakan yang kondusif di tingkat hulu hingga hilir,” katanya.
Menurut dia, komoditas kelapa sawit memiliki potensi hingga Rp 1.000 triliun dan untuk mendapatkan perputaran uang sebesar itu, maka perlu percepatan PSR. Namun demikian, Kacuk menyebut kendala pelaksanaan PSR yakni peraturan perundangan yang adil, yang saat ini sedang dalam perbaikan oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Perkebunan.
Kacuk berharap aturannya segera keluar sehingga bisa dialkukan percepatan pelaksanaannya. “Nah kendala berikutnya mengenai kawasan hutan, banyak lahan-lahan yang sudah dikelola puluhan tahun sampai dilakukan peremajaan pun masih di dalam kawasan hutan, baik itu di tingkat petani maupun perusahaan sendiri,” kata Kacuk.
Direktur Palmoil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung menyampaikan, tantangan yang dihadapi industri sawit nasional bakal semakin banyak dan berat tidak hanya dari hulu, tapi perdagangan luar negeri. Sukses melewati wabah Covid-19, industri sawit nasional harus menghadapi memburuknya perekonomian global, geoplotik serta UU Anti Deforestasi dari Uni Eropa atau European Union Deforestation Regulation (EUDR).
“Perekonomian dunia sedang tidak baik-baik saja. Ini jelas berdampak kepada industri sawit nasional. Trennya memang menurun. Belum lagi soal geopolitik di dua lokasi Ukraina, dan Rusia. Ancaman masih tinggi, karena middle east ini membawa ancaman. Sebesar 30 persen kontainer banyak melalui laut merah. Kalau terganggu dampaknya luar biasa. Tantang lain, EU deforestasi,” ujar Tungkot.
Senada, Direktur Eksekutif Responsible Sustainable Palm Oil Initiatives (RPOI) Rosediana Suharto menjelaskan, banyak negara tujuan ekspor menerapkan berbagai persyaratan khusus dari aspek lingkungan dan aspek operasional produksi. Mereka biasanya menggunakan isu keberlanjutan untuk jadi tameng penghalang ekspor sawit Indonesia.
“Sawit kita dikepung teknikal trade barrier. Kenapa? Karena kita berhasil menguasai pasar orang lain. Ini bentuk persaingan dagang,” kata Rosediana.
Meski berat, Tungkot menyebut adanya kabar baik sepanjang 2023. Sebab, industri sawit masih menunjukkan kekuatannya untuk bertahan di tengah beratnya tantangan global. Di mana, kontribusi industri sawit terhadap devisa negara masih signifikan.
Pada 2023, devisa ekspor sawit Indonesia diperkirakan mencapai US$31 miliar atau setara Rp465 triliun (kurs Rp15.000/US$). Serta penghematan devisa karena mengurangi ketergantungan impor minyak senilai US$10,5 miliar (Rp157,5 triliun). Artinya, industri sawit menyumbang kepada perekonomian Indonesia sekitar US$ 41 miliar sampai US$42 miliar.
“Ternyata industri sawit masih menunjukkan ketahanannya, bahkan masih bisa bertumbuh meskipun tidak terlalu besar, baik itu produksi maupun konsumsi. Begitu besar risiko pada 2023, tetapi masih bisa survive bertumbuh di tengah ancaman resesi ekonomi dunia,” jelas Tungkot.
Peluang sawit masih besar
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani menilai industri minyak sawit Indonesia ini berdaya saing tinggi dan masih punya potensi pertumbuhan. Indonesia telah lama dikenal dunia sebagai salah pemasok minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Selain itu, produk turunan sawit yang bisa diolah menjadi bahan pangan merupakan kebutuhan primer manusia yang selalu dicari.
“Selama suatu komoditas itu menyangkut kebutuhan primer, seperti pangan, maka industri sawit ini tidak ada matinya,” ujar Aviliani.
Menurutnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia 2024 yang diperkirakan mencapai lebih dari 5 persen bisa menjadi potensi pasar dalam negeri yang bisa dimanfaatkan industri ini. Namun, ia juga berpesan agar hulu industri sawit dibenahi agar produktivitas bisa meningkat.
“Hilir itu akan terus jalan, karena kebutuhan pangan terus meningkat. Tapikan di hulu, di kebunnya harus diperbaiki,” jelas Aviliani.
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan, praktik riset dan pengembangan masih belum masif dilakukan industri sawit Indonesia. Padahal, melalui riset dan pengembangan terus -menerus, bisa menghasilkan inovasi produk sawit sehingga memberikan nilai tambah bagi Indonesia.
Senada, Guru Besar IPB University Bungaran Saragih mengatakan masa depan sawit akan tetap cerah. “Masa depan industri sawit diyakini tetap cerah, namun pelaku industri harus terus mendorong penelitian dan pengembangan untuk menekuni hilirisasi produk turunan minyak kelapa sawit,” katanya.
Menurut Menteri Pertanian (Mentan) periode 2000-2001 produk hilirisasi itu lebih tahan fluktuasi harga dan memberikan kepastian serapan pasar pada industri hulunya. “Jadi, hilirisasi ini punya dampak keterkaitan [backward and forward linkage] yang besar bagi perekonomian,” ujarnya.
Bungaran mengungkapkan hilirisasi minyak kelapa sawit sejatinya sudah lama berjalan, berbagai produk turunan sudah dihasilkan, seperti minyak goreng, produk kosmetik, perlengkapan mandi, biodiesel, dan bahan pangan.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 147)