Mutu CPO sangat mempengaruhi mutu hasil dari proses refineri dan proses lanjutannya di industri hliir minyak sawit. baik produk pangan, oleokimia, hingga biodiesel. Mutu produk industri hilir minyak sawit mencakup stabilitas produk selama distribusi dan umur simpannya.
Mutu minyak mentah sawit atau crude palm oil (CPO) dan minyak inti sawit atau crude palm kernel oil (CPKO) sangat menentukan kualitas produk hilirnya, mengingat tidak sedikit produk hilir sawit digunakan untuk produk pangan, oleokimia, hingga biodiesel. Untuk itu, kontrol mutu CPO dan CPKO sebelum masuk proses refineri (pemurnian) penting untuk dijaga. Hal tersebut diutarakan Direktur Politeknik Wilmar Bisnis Indonesia, Jenny Elisabeth saat menjadi salah satu pembicara pada acara Talkshow, awal Maret lalu, di Jakarta.
Diungkapkan Jenny, pihaknya ingin mengingatkan kembali mutu CPO dan CPKO sangat menentukan kualitas produk hilir yang diproduksi dari CPO dan CPKO. “Mutu CPO dan CPKO tidak hanya terkait dengan mutu RBPDPO (refined bleached deodorized palm oil) terkait dengan aspek sensori, yakni minyak yang berwarna bening atau kekuningan, tidak berbau, dan tidak ada rasa, tetapi juga terkait dengan kualitas/mutu dari aspek stabilitas, nutrisional, dan keamanan,” ungkapnya.
“Produk hilir sawit harus tahan lama, produk personal care yang diproduksi berbasis minyak sawit biasanya expired-nya 3 tahun, minyak goreng 2 tahun, margarin minimal 9 bulan hingga 1 tahun. Jadi, stabilitas produk minyak sawit ini sangat ditentukan oleh mutu CPO dan CPKO,” imbuh Jenny.
Selanjutnya ia menambahkan, meski sudah disampaikan diberbagai forum, namun terkadang banyak yang beranggapan kondisi mutu CPO apapun tidak masalah. Toh nantinya akan dimurnikan saat masuk proses di refineri (pemurnian) menghasilkan RDBPO dan refined bleached deodorized palm kernel oil (RDBPKO) yang digunakan untuk berbagai produk hilir. Dalam proses refineri asam lemak bebas, komponen teroksidasi, pigmen, kontaminan logam dan kimia, serta kotoran lain dari minyak yang mempengaruhi bau, rasa, dan warna bisa dihilangkan. “Sehingga mutu CPO dan CPKO kurang dipedulikan. Ini mindset dari banyak pihak yang ternyata keliru,” tegas Jenny.
Dalam proses refineri, mutu CPO dengan asam lemak bebas tinggi (ALB), biasanya dikaitkan dengan penurunan rendemen RBDPO, tetapi akan di-cover dari rendemen Palm Fatty Acid Distillate (PFAD) yang lebih tinggi, karena pada proses refining ALB masuk ke fraksi PFAD. Kerugian penggunaan CPO dengan ALB tinggi sering hanya dilihat dari selisih harga RBDPO dan PFAD, di mana harga RBDPO lebih tinggi dari PFAD.
Dijelaskan Jenny RDBPO dan RDBPKO yang sudah dimurnikan (refined) mungkin terlihat baik-baik saja, ALB-nya rendah, warnanya bagus, dan syarat mutu lainnya memenuhi standar, tetapi ternyata untuk stabilitasnya (tahan lama) tidak demikian.
“Jadi, misalnya kalau CPO dengan ALB tinggi, nanti RDBPO-nya setelah di-refine bisa memiliki ALB yang rendah dan memenuhi standar, tetapi kandungan digliserida atau diasilgliserol (DAG)-nya tetap tinggi karena tidak dapat dihilangkan. Dengan DAG yang tinggi apa pengaruhnya terhadap produk hilir, misalnya minyak goreng? Minyak goreng atau olein sawit akan lebih mudah tengik, lebih cepat cloudy atau ‘tidur’, warnanya lebih cepat menjadi gelap, ALB minyak goreng akan lebih cepat naik dan hal ini sangat tidak diinginkan oleh industri makanan pengguna minyak goreng, serta beresiko tinggi terbentuknya kontaminan MCPD/GE yang berbahaya bagi kesehatan dan prekursornya adalah DAG,” jelasnya.
“Apakah ini hanya di minyak goreng, jelas tidak. Masalah-masalah lain yang dapat timbul diantaranya terjadi sedimentasi yang lebih banyak di tanki penyimpanan olein sawit, umur simpan produk makanan yang lebih pendek, compound cokelat yang akan mudah meleleh, produk makanan menjadi lebih cepat tengik, produk kosmetik dan personal care akan lebih cepat berubah warna atau aroma, dsb. Hal ini yang menjadi catatan bagi yang ada di Pabrik Kelapa Sawit (PKS), bahwa mutu CPO berpengaruh sampai kesektor industri hilir,” tambahnya.
Mutu CPO mempengaruhi hasil
Selain harus menghilangkan kotoran dan ALB, proses refineri diharapkan juga dapat mempertahankan vitamin E (tokoferol dan tokotrienol) setinggi mungkin. Selain sebagai sumber vitamin E, minyak sawit dengan kandungan vitamin E yang lebih tinggi juga akan lebih tahan lama, karena vitamin E berfungsi untuk mencegah ketengikan.Lebih lanjut, mutu CPO yang baik juga sangat diperlukan untuk memproduksi minyak makan merah, yang harus dipertahankan kandungan beta karoten sebagai provitamin A, selain Vit E-nya. Kalau mutu CPO-nya tidak baik, maka kandungan vitamin E dan pro vitamin A pada produk hilirnya akan rendah.
“Mutu produk hilir harus dijaga tidak hanya untuk produk pangan, tetapi bahkan hingga keproduk biodiesel. Karena saat ini sudah implementasi B35 untuk bahan bakar biosolar, maka para meternya ditambah OSI (oxidative stability index) dengan tujuan kerusakan oksidasinya harus lambat. Parameter OSI ini sangat dipengaruhi oleh mutu CPO. Meskipun RDBPO-nya rendah ALB-nya, kalau mutu bahan baku CPO-nya tidak baik, maka kerusakan biodiesel semakin cepat,” kata Jenny kembali menegaskan.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 138)