Pemanfaatan karbon aktif cangkang sawitmasih cukup terbuka luas, diantaranya untuk pemurnian minyak goreng bekas, penjernihan air, penjernihan sari buah, penjernihan asap cair, penjernihan air limbah industri batik, dan lain-lain pemanfaatannya.
Dr. Maria Ulfah, STP. MP sebagai dosen di Institut Pertanian Stiper (INSTIPER) Yogyakarta telah mendalami riset di bidang teknologi pengolahan hasil perkebunan dengan bahan baku kelapa sawit baik untuk pangan maupun non pangan. Salah satunya fokus mendalami pemanfaatan cangkang kelapa sawit sebagai bahan baku karbon aktif dan pemanfaatnnya di bidang pangan maupun non pangan.
Diketahui tandan buah segar kelapa sawit atau biasa disebutTBS dalam proses pengolahan di pabrik kelapa sawit (PKS) akan menghasilkan crude palm oil sebanyak 21,8%, kernel 5,4%, serabut 14,3%, cangkang sawit 6,7% dan tandan kosong sebesar 22,5%.
“Limbah biomasa di PKS termasuk di dalamnya adalah cangkang sawit merupakan sumber lignin, hemiselulosa, selulosa dan mengandung karbon yang dapat digunakan sebagai bahan pembuatan karbon aktif. Cangkang sawit mengandung selulosa sebesar 31,33%, hemiselulosa 17,94%, lignin 48,83%,” jelas Maria Ulfah dalam keterangan tertulis yang diterima Redaksi Majalah Sawit Indonesia, beberapa waktu lalu.
Menurut Ulfah, cangkang sawit dari sawit varietas Tenera mengandung karbon sebesar 44,74%, abu 1,12%, total N 0,07% dan kadar air sebesar 5,42%. Kandungan lignin yang tinggi pada cangkang sawit dibandingkan kadar selulosanya, sehinggaproses aktivasi untuk mendapatkan karbon aktif dengan porositas tinggi dapat berlangsung lebih singkat karena sedikit struktur fibrousnya.
“Karbon aktif cangkang sawit cocok untuk adsorpsi karena kemudahannya dimodifikasi untuk mendapatkan karbon aktif dengan porositas tinggi,” imbuhnya.
Karbon aktif secara luas digunakan sebagai adsorben karena memiliki luas permukaan tinggi, porositas dan kimia permukaan yang bisa dimodifikasi. Gugus fungsional permukaan pada pori karbon aktif ditemukan bertanggung jawab terhadap berbagai sifat adsorpsi fisik dan kimia.
Secara detail, Ulfah menguraikan karbon aktif dibuat melalui dua tahapan utama yaitu karbonisasi dan aktivasi. Karbonisasi bertujuan untuk mereduksi kandungan senyawa volatil dan mengkonversi bahan menjadi arang dengan kadar karbon lebih tinggi.
“Selama karbonisasi, atom karbon tertata ulang dalam struktur mirip grafitik. Pirolisis dari polimer selulosa atau lignin dalam proses karbonisasi dapat melepaskan komponen non karbon, yaitu hidrogen, oksigen dan nitrogen, dalam bentuk gas atau tar. Proses karbonisasi dapat membentuk porositas awal dari arang. Karbonisasi pada dasarnya melibatkan dekomposisi pirolitik dari prekursor dan meminimalkan bahan non karbon,” urainya.
“Senyawa dengan berat molekul rendah akan lepas pada proses awal, diikuti senyawa aromatik ringan dan gas hidrogen. Proses ini menghasilkan arang dengan kadar karbon yang tetap. Residu pirolisis berupa tar akan mengisi pori arang yang terbentuk selama pirolisis. Arang yang dihasilkan selanjutnya diaktivasi,” lanjut perempuan yang saat ini menjabat sebagai Wakil Rektor I Bidang Akademik, INSTIPER Yogyakarta.
Aktivasi dalam pembuatan karbon aktif dapat dilakukan secara fisika maupun kimia. Aktivasi fisik diawali dengan karbonisasi pada suhu 400-850 oC, diikuti aktivasi pada suhu 600-900 oC. Aktivasi fisik dengan oksidasi menggunakan uap melibatkan preoksidasi, pirolisis dan aktivasi dengan steam.
Sementara, untuk aktivasi kimia dapat terbentuk melalui satu atau dua langkah metode aktivasi. Aktivasi dua langkah melibatkan karbonisasi bahan berkarbon, diikuti aktivasi arang yang dihasilkan dengan beberapa agent pengaktif.Metode aktivasi satu langkah lebih menguntungkan dibandingkan dengan metode dua langkah, karena lebih simpel, biaya operasional maupun suhu dan waktu aktivasi lebih rendah, mampu menghasilkan rendemenkarbon aktif lebih tinggi dan struktur pori lebih baik. Agent pengaktif kimia H3PO4 dan ZnCl2 banyak digunakan untuk aktivasi bahan lignoselulosa yang tidak dikarbonisasi terlebih dahulu, sedangkan KOH digunakan untuk aktivasi prekursor batubara atau arang.
Selama aktivasi kimia, reagen menginduksi perubahan penting dalam mendekomposisi bahan lignoselulosik karena mendukung depolimerisasi, dehidrasi, dan redistribusi dari senyawa biopolimer, mendukung konversi komponen alifatik menjadi komponen aromatik pada suhu lebih rendah dibandingkan dengan pemanasan tanpa penambahan bahan kimia pengaktif, sehingga meningkatkan rendemen, menekan pembentukan tar dan menurunkan suhu pirolisis. Karbon yang diaktivasi secara kimia biasanya memiliki proporsi mesopori lebih besar dibandingkan aktivasi fisik.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 130)