Tidak lagi relevan mengaitkan kerusakan habitat orangutan dengan perkebunan sawit. Saat ini, perusahaan kelapa sawit wajib punya program konservasi yang salah satunya melindungi orangutan. Melalui pendekatan landscape bisa menjaga satwa hidup berdampingan dengan perkebunan sawit.
Kedatangan Leonardo DiCaprio, aktor kenamaan Holywood, untuk mengunjungi Taman Nasional Leuser Aceh, mengejutkan banyak pihak. Dari Jepang, peraih Piala Oscar ini menggunakan jet pribadi tiba di Bandara Kualanamu, Medan yang dilanjutkan memakai helikopter menuju Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Dari atas helikopter, bersama aktor Holywood lainnya, Adrien Brody dan Fisher Stevens sempat berkeliling selama dua jam lamanya.
Kedatangan Leonardo baru tercium setelah beberapa foto dirinya yang berada di TNGL dipublikasikan lewat Facebook dan Twitter pribadinya. Pemeran Film The Revenant ini menyatakan dukungan untuk penyelamatan ekosistem Leuser dan menyalahkan ekspansi kelapa sawit yang merusak habitat orangutan serta biodiversitas hutan, sebagaimana ditulis dalam postingannya. Aktor kawakan dikenal aktif membela lingkungan melalui organisasinya bernama Leonardo DiCaprio Foundation.
Bungaran Saragih, Mantan Menteri Pertanian era Kabinet Presiden Abdurrachman Wahid, yang juga Ketua Dewan Penyantun Borneo Orangutan Survival Foundation, menyebutkan kelapa sawit tetap menjadi isu seksi dalam aspek konservasi lingkungan dan orangutan. Padahal, ekspansi kelapa sawit menurun dalam beberapa tahun belakangan sehingga tidaklah tepat menuding kelapa sawit penyebab kerusakan habitat orangutan dan hutan.
“Perkembangan sawit sudah melambat semenjak beberapa tahun ini. Kerusakan hutan lebih banyak disebabkan kebakaran lahan dan illeggal logging. Termasuk juga tambang ikut merusak hutan,” kata Bungaran.
Sabri Basyah, Tokoh Masyarakat Aceh, menyayangkan pernyataan Leonardo DiCaprio mengenai kelapa sawit. Dalam pandangannya, aktor kenamaan ini tidak punya niat baik kepada Indonesia dengan menyudutkan kelapa sawit sebagai komoditas unggulan negara.
Mengapa masyarakat internasional tertarik dengan konservasi orangutan? Bungaran mengakui dalam pandangan masyarakat Uni Eropa dan Amerika Serikat sangat menyukai orangutan karena DNA-nya berdekatan dengan manusia. “Dan orangutan ini sudah menjadi ikon dunia karena kedekatan dengan manusia. Itu sebabnya, mereka sangat sayang dengan orangutan,” imbuhnya.
Yang sangat disayangkan, kata Bungaran, terdapat stigma kelapa sawit sebagai perusakan habitat satwa langka seperti orang utan. Stigma ini ditambahkan “bumbu” bahwa korporasi pemilik dominan perkebunan sawit di Indonesia. Informasi sesat inilah yang menjadi pemicu sawit selalu dikampanyekan sebagai pengganggu orangutan. Sekarang ini fakta menunjukkan petani rakyat menguasai perkebunan sawit sekitar 43% dari total luas lahan 11 juta hektare di Indonesia.
“Memang kerusakan hutan dan orangutan masih terjadi, tetapi jangan kelapa sawit terus disalahkan. Dibandingkan perusahaan hutan (HPH), perusahaan sawit masih lebih baik dalam konservasi orangutan. Sudah ada perusahaan sawit yang terlibat dalam menjaga habitat dan populasi orangutan,” imbuhnya.
Harmoni orangutan dan sawit
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan bahwa perusahaan perkebunan sawit dapat terlibat dalam perlindungan orangutan. Dengan begitu, baik manusia dan orangutan dapat hidup berdampingan. Bambang Novianto, Sekretaris Direktur Jendral Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyebutkan bahwa selama ini masalah orangutan dan perkebunan sawit sangatlah kompleks. Di satu sisi, habitat orangutan bukanlah di perkebunan sawit semestinya di kawasan hutan. Tetapi karena kehabisan makanan maka orangutan masuk ke perkebunan sawit.
“Sebenarnya bisa dilakukan harmonisasi antara orangutan dengan perkebunan sawit. Dengan begitu kelestarian orangutan tetap terjaga,” ungkap Bambang kepada Sawit Indonesia, di Jakarta, pada akhir Februari.
Masih terdapat solusi guna menjaga kelestarian orangutan di tengah perkebunan sawit. Misalnya, kata Bambang, membuat satu wilayah yang punya nilai konservasi tinggi. “Saat ini perusahaan perkebunan juga sudah buat satu kawasan namanya HCV (High Conservation Value), ada konservasi bernilai tinggi kemudian dicagarkan. Jadi perusahaan punya lahan kemudian disisakan beberapa untuk konservasi. Itu bisa jadi salah satu solusi,” ungkap Bambang.
Yaya Rayadin, Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, mengatakan sudah ada perusahaan sawit yang punya komitmen baik dan melakukan implementasi di lapangan dengan baik untuk konservasi orangutan. Dalam pengelolaan areal konservasi,kata Yaya, syaratnya manajemen dan pemilik punya niat yang kuat untuk melindungi mahluk hidup, tidak hanya orangutan namun semua satwa yang ada didalam konsesinya.
Syarat lainnya, menurut Jamartin Sihite CEO Borneo Orangutan Survival Foundation, perusahaan sawit berpandangan bahwa program konservasi bagian dari investasi. Mengingat, pembeli di luar negeri sudah meminta produk kelapa sawit dari proses produksi berkelanjutan. (Qayuum Amri)
Sumber foto: Dokumentasi ANJ
(Lebih lengkap baca Majalah SAWIT INDONESIA Edisi 15 April-15 Mei 2016)