JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Ketua Umum DPP APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia) Dr. Gulat Manurung, MP, CIMA, mengatakan, petani kelapa sawit harus selalu dilibatkan dalam diplomasi dan negosiasi melawan diskriminasi perdagangan oleh negara-negara maju termasuk Uni Eropa. Saat ini sudah ada CPOPC yang diharapkan dapat memperkuat posisi tawar negara produsen sawit kepada negara konsumen.
“CPOPC melakukan kegiatan bidang advokasi dan promosi, Sustainability & Smallholder Development, riset, dan kolaborasi diantara stakeholders. Namun peran petani dalam CPOPC ke depannya harus menjadi yang utama terkhusus dalam menjelaskan keunggulan sawit dari aspek dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan,” ujar Gulat.
Walaupun, beberapa negara lain dikabarkan akan segera bergabung sebagaimana dikatakan oleh Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO).“Beberapa negara lain seperti Kolombia, Honduras, Papua Nugini, Ghana, itu sedang akan masuk segera. Jadi dengan semakin banyaknya anggota CPOPC itu akan semakin memperkuat negara penghasil sawit,” kata Doktor Lingkungan Universitas Riau ini.
baca juga: CPOPC dan Peranan Strategisnya di Pasar Sawit Dunia
Gulat menjelaskan bahwa dengan bergabungnya negara lain, akan semakin memperkuat aliansi dan bargaining negara penghasil sawit kepada negara pengkonsumsi sawit, karenanya hal ini perlu dipercepat.
“CPOPC itu gerbong menuju ketahanan sawit seperti yang diharapkan Pak Jokowi dan Pak Anwar Ibrahim,” terang Gulat.
Berkaitan diskriminasi sawit, dikatakan Gulat, baik Indonesia dan Malaysia menguasai pasar minyak nabati dunia lebih dari 30% dan menguasai pasar minyak sawit dunia di atas 84%. Minyak sawit memang telah terbukti “feed the world” dengan berbagai keunggulan minyaknya. Diskriminasi sawit oleh Uni Eropa dapat merugikan EU sendiri, karena mereka membutuhkan sawit.
“Indonesia dan Malaysia (tentu melalui kolaborasi dengan CPOPC dan stakeholdear lainnya) mampu melawan Uni Eropa, namun perlu strategi yang tepat sasaran. Saat ini perlawanan telah dilakukan Indonesia dan Malaysia, juga masing-masing stakeholder dari kedua negara,” urainya.
Langkah menggugat ke WTO adalah jalan terakhir jika berbagai jalan telah ditempuh tapi tidak membawa hasil. Menurut Gulat, dialog perlu terus dilakukan agar informasi yang seimbang dapat saling diberikan dan juga pengetahuan tentang pentingnya minyak sawit bagi sustainability lingkungan di muka bumi.
“Mereka dari Uni Eropa kemungkinan besar memang tidak memahami perkelapasawitan secara utuh. Oleh karena itu mengundang mereka untuk melihat sendiri merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh,” pungkas Gulat.