Persepsi negatif terhadap sawit kian mengkhawatirkan. Isu yang diangkat pun bermacam-macam, mulai dari isu lingkungan, hak asasi manusia, hingga saat ini isu regulasi. Padahal, ada 17 juta petani dan pekerja yang menggantungkan hidupnya dari komoditas sawit.
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud mengatakan regulasi EU Deforestation-Free Regulation (EUDR) menjadi tantangan terbesar bagi industri sawit Indonesia. Pasalnya, regulasi yang diterbitkan pada 16 Mei 2023 ini sangat mendiskreditkan sejumlah komoditas ekspor Indonesia termasuk sawit.
“Ini menjadi tantangan kita akhir-terakhir ini, mulai dari RED II [Renewable Energy Directives] yang kemudian kita lawan dengan perdagangan di WTO [World Trade Organization] yang sampai sekarang belum ada hasilnya. Kemudian muncul lagi EUDR, itu masuk lagi ke regulasi. Kita tidak bisa bantah, yang ada kita menegosiasikan, membicarakan,” ujar Musdhalifah dalam Advokasi Sawit dan Peluncuran Buku Mitos Vs Fakta Sawit Edisi-4 di Jakarta, Senin (14 Agustus 2023).
Kegiatan ini diinisiasi oleh Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) dengan dukungan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) serta media partner dan event organizer yaitu Majalah Sawit Indonesia.
Musdhalifah mengungkapkan penerapan EUDR akan berdampak bagi keberlanjutan ekspor sawit dari Indonesia yang sebesar 3,5 juta ton. Imbasnya adalah Indonesia berpeluang kehilangan pasar di negara-negara benua biru. Sebab, EUDR telah menjadi stempel sawit Indonesia tidak ramah lingkungan dan melakukan deforestasi.
“Kita tidak mau negara kita dicap high risk. Karena seolah-olah kalau high risk itu dibenak negara lain, bahwa [Indonesia] negara barbar yang tidak punya ketentuan menjaga alam kita. Yang tidak punya ketentuan menghalangi deforestasi di negara kita. Padahal, Indonesia memiliki regulasi yang banyak sekali mendorong no deforestation,” tutur Musdhalifah.
Selain itu, berbagai komunikasi juga disampaikan melalui gugus tugas untuk membahas aturan deforestasi EUDR yang dihadapi Indonesia dan Malaysia.
Menurut Musdhalifah, gugus tugas itu tengah melakukan berbagai persiapan untuk membangun dan membuktikan bahwa komponen berkelanjutan telah diterapkan dalam industri sawit di Indonesia.
“Beberapa tindak lanjut kita sudah bekerja bersama-sama untuk menyiapkan task force selanjutnya. Kemudian, kita menyiapkan apa yang bisa kita kembangkan, kita bangun untuk membuktikan traceability [ketertelusuran] itu ada di negara kita, bukan sesuatu yang tidak ada,” terangnya.
Selain itu, komunikasi melalui gugus tugas terus dilakukan agar Indonesia tidak dicap sebagai negara ‘high risk’ atau negara yang tidak memiliki ketentuan dalam menjaga alam dan mengurangi deforestasi sesuai dengan standar (benchmark) EUDR.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 142)