Pelaku industri sawit meminta pemerintah supaya memberikan jaminan kepastian dalam segala aspek mulai dari keamanan, regulasi, dan hukum. Keinginan ini didasari atas ketidakjelasan dan kekhawatiran dalam berinvestasi akibat tingginya konflik di lahan perkebunan sepanjang beberapa tahun terakhir.
Tingginya jumlah kasus konflik perkebunan sepanjang lima tahun terakhir, membuat kegamangan pelaku industri sawit dalam mengembangkan lahan di wilayah baru. Apabila melihat data Direktorat Jenderal Perkebunan, setiap tahun pertumbuhan konflik secara rata-rata mencapai 14%. Gamal Nasir, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, mengatakan kasus yang terjadi lebih banyak didominasi masalah lahan di berbagai daerah. Dalam catatan pihaknya, jumlah kasus gangguan usaha dan konflik perkebunan (GUKP) mencapai 822 kasus pada 2011.
Gamal Nasir menyatakan gangguan usaha dan konflik perkebunan tahun lalu terbagai atas dua tiap yakni sengketa lahan berjumlah 625 kasus dan sengketa non lahan sebanyak 197 kasus. Ditinjau dari segi geografis, konflik perkebunan banyak terjadi di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara.
Joko Supriyono, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), mengatakan jumlah angka konflik lahan yang dilaporkan itu dipertanyakan, karena yang dialami oleh perusahaan tidak seperti itu. Jangan-jangan yang dimaksud ‘konflik’ oleh perusahaan dengan berbeda dengan pihak yang merasa ‘ber-konflik’. Biasanya konflik dimulai dari ‘klaim’, kemudian menjadi ‘dispute’ dan akhirnya ‘konflik’. Banyak klaim-klaim lahan oleh ‘pihak tertentu’ yang dilaporkan sebagai konflik. Klaim (yang berujung konflik) sebenarnya akibat berbagai macam penyebab antara lain kebijakan tata ruang. Masalah tata ruang yang terjadi disebabkan perbedaan kebijakan antara pemerintah daerah dan pusat yang lebih berdasarkan kepada masalah perbedaan persepsi dan egoisme saja. Dalam kaitan tata ruang, perusahaan hanya ingin kepastian, mana areal yang boleh ditanam, mana yang tidak boleh.
“Tetapi sekarang ini kondisinya serba tidak pasti. Misalkan saja, dahulu ada perusahaan anggota Gapki yang sudah melakukan perpanjangan Hak Guna Usaha atau HGU berkali-kali. Tiba-tiba saja sekarang areal tersebut sekarang dikategorikan masuk kawasan hutan,” kata Joko Supriyono kepada SAWIT INDONESIA.
Penyebab lain yang meningkatkan intensitas konflik perkebunan, menurut Joko Supriyono, disebabkan gesekan antara perusahaan perkebunan dan masyarakat. Konflik dengan masyarakat ini lebih ruwet karena sebenarnya konflik dengan masyarakat ini sebagian besar dipengaruhi provokasi pihak tertentu. Provokasi ini dapat timbul kepentingan politik dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tertentu.
Ditambahkan kembali, sangat tidak masuk akal perkebunan yang telah beroperasi puluhan tahun dirampas maupun dirambah begitu saja oleh masyarakat. Ini berarti kejadian ini tidak berdiri sendiri karena sarat konspirasi berbagai macam kepentingan pihak-pihak tertentu. Dalam kasus lain, status lahan sawit kerap kali dipermasalahkan dengan berpijak kepada sejarah lahan tersebut sebagai contoh lahan tertentu di zaman orde baru dituding diperoleh lewat cara pemaksaan dan tanpa ganti rugi. Tudingan ini belum tentu benar dan sudah tidak dapat diungkit lagi cerita masa lalu tadi karena status lahan sudah ada yang ditetapkan lewat aturan pemerintah.
Mona Surya, Direktur Minanga Grup, mengakui gangguan pihak luar sering ditujukan kepada perkebunan sawitnya, kendati status lahan sudah jelas dan mempunyai Hak Guna Usaha. Penyebabnya, sering ditemukan pihak-pihak yang menjadi provokator masyarakat untuk mengganggu perkebunan sawit, dan kondisi ini lumrah ditemukan di semua perusahan perkebunan.
Menurut Joko Supriyono, aktor pemicu konflik lahan sering terjadi justru bukan berasal dari wilayah desa sekitar perkebunan, melainkan masyarakat yang tinggal jauh dari perkebunan atau dari perkotaan. Dengan masyarakat sekitar kebun, konflik itu sangat jarang terjadi karena biasanya perusahaan telah melakukan kegiatan CSR maupun melaksanakan program plasma bagi petani setempat (ring-1 perusahaan). Dugaan saya, gesekan horisontal yang terjadi itu didorong pihak ketiga yang melakukan provokasi dan konspirasi,” papar dia.
Penuntasan konflik lahan ini dapat dilakukan asalkan pemerintah memberikan kepastian dan ketegasan terhadap peraturan yang diimplementasikan. Joko Supriyono menyebutkan ketidakmampuan pemerintah menangani konflik perkebunan menciptakan kondisi buruk kepada iklim investasi. Kalau tidak diselesaikan segera, ini berarti terdapat kondisi pembiaran konflik oleh pemerintah.
Gamal Nasir mengakui penyelesaiaan kasus konflik lahan perkebunan masih rendah sekali akibat tanggung jawab penanganan konflik tidak semuanya berada di tangan pemerintah pusat, melainkan pemerintah daerah pula. Sebagai gambaran, jumlah penyelesaian gangguan usaha dan konflik perkebunan tahun 2009 mencapai 196 kasus selanjutnya turun menjadi 57 kasus pada 2010 dan 49 kasus pada 2011. “Turunnya tingkat penyelesaian lebih disebabkan kompleksnya kasus-kasus yang mesti ditangani,” kata Gamal.
Teguh Patriawan, Sekretaris Dewan Minyak Sawit Indonesia, menyatakan munculnya kasus konflik lahan ini disebabkan pula pengembangan lahan untuk berbagai macam kepentingan seperti bertambahnya jumlah penduduk dan pemekaran wilayah. Untuk itu, perluasan lahan perkebunan seperti sawit masih perlu dilakukan supaya dapat memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.
“Ke depan, perluasan lahan pertanian dan perkebunan sangat dibutuhkan untuk mengimbangi penambahan jumlah penduduk. Tetapi tetap memperhitungkan keberadaan hutan, dan hutan itu jangan sampai habis seperti di daratan Eropa,” ujar dia kepada SAWIT INDONESIA.
Manfaat Sawit
Joko Supriyono meminta pemerintah supaya melihat industri sawit ini ibarat angsa bertelur emas, karena itu perlu proteksi terhadap industri yang telah menciptakan efek multi ganda (multi player effect). Oleh karena itu, industri sawit perlu diberikan ruang supaya tetap tumbuh sehingga manfaatnya dapat memberikan kontribusi besar kepada pembangunan nasional.
Dalam artikelnya, Teguh Wahyono, Peneliti Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), menyebutkan penanaman dan panen kelapa sawit bersifat padat karya, sehingga industri ini berperan cukup besar dalam penyediaan lapangan kerja di banyak wilayah. Diperkirakan industri kelapa sawit di Indonesia mungkin dapat menyediakan lapangan kerja bagi lebih dari 4,5 juta jiwa dan mengentaskan mereka dari kemiskinan. Manfaat lain, pekerja industri kelapa sawit mencakup pendapatan pasti, akses ke perawatan kesehatan dan pendidikan. Industri kelapa sawit memberikan pendapatan berkelanjutan bagi banyak penduduk miskin di pedesaan. (Qayuum Amri)