Kampanye hitam atas pencemaran lingkungan di industri kelapa sawit masih menjadi perhatian serius pihak pemerintah Indonesia. Terbukti, pada agenda International Conference and Exhibition of Palm Oil (ICE-PO) yang diselenggarakan di Jakarta Convention Centre (JCC) Kemayoran pada 7-9 Mei 2013, pemerintah bersama beberapa kelompok pelaku industri kelapa sawit seperti Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), dan Gabungan Pengusaha Perkebunan Indonesia (GPPI) coba mendorong kembali agar setiap perusahaan menyatukan kembali komitmen untuk melaksanakan sertifikasi kebun kelapa sawit ramah lingkungan.
Pasalnya, Kementerian Pertanian meyakini bahwa perkembangan industri kelapa sawit dalam negeri juga memberikan dampak positif bagi industri hilir seperti biodiesel dan oleokimia. Terlebih, Indonesia juga termasuk konsumen terbesar minyak kelapa sawit. Sehingga data dari Dewan Minyak Sawit Indonesia mencatat bahwa pada tahun ini Indonesia dapat berhasil menggeser pola konsumtif India.
“Ini yang diperhatikan dunia, Indonesia sebagai produsen terbesar CPO dunia tapi harus tetap bisa melestarikan alam,” kata Suswono, selaku Menteri Pertanian ketika ICE-PO 2013 berlangsung.
Tak heran, jika Suswono juga menyatakan bahwa ISPO merupakan sertifikasi yang wajib digunakan setiap perusahaan kelapa sawit. Sebab, sertifikasi ini juga menjadi platform Indonesia di mata dunia, jika industri kelapa sawit dalam negeri juga memperhatikan kesejahteraan masyarakat sekitar perkebunan. “Saya juga bersyukur, jika intensi pelaku industri cukup besar terhadap ISPO.”
Situasi ini pula yang mendorong pemerintah berupaya untuk memberikan mandatory setiap perusahaan dan perkebunan kelapa sawit agar segera menyatakan komitmennya terhadap ISPO paling lambat pada tahun 2014. “Jika ada perusahaan nakal, kita akan beri sangsi tegas,” ungkap Suswono.
Meski begitu, Menteri Pertanian ini belum bisa memberikan penjelasan kongkrit terkait sangsi apa yang akan diberikan kepada perusahaan nakal yang tidak melakukan sertifikasi ISPO.
Rusman Heriawan, Wakil Menteri Pertanian, menyatakan aspek penting yang perlu diperhatikan adalah produktivitas petani. Itu sebabnya, pemerintah berupaya melakukan pemberdayaan kepada petani mandiri, misalkan membantu pengadaan benih yang berkualitas. Dengan benih yang bagus, produktivitas TBS petani dapat diatas 10 ton per hektare per tahun.
Sementara itu, Soedjai Kartasasmita, Chairman of the advisory Board ICE-PO 2013 menjelaskan jika ICE-PO pada tahun ini memang dijadikan sebagai ajang pertemuan seluruh pemain industri kelapa sawit seperti tahun sebelumnya. Hal ini dilakukan sebagai upaya mendorong komitmen untuk melakukan sertifikasi kebun yang ramah lingkungan. Sehingga dalam perjalanannya, ISPO yang yang dideklarasikan pada tahun 2011 bisa menjadi salah satu faktor dalam menjaga keberlanjutan industri kelapa sawit yang lestari.
“Dengan ISPO, perusahaan kelapa sawit telah menjalankan proses produksi tidak hanya yang berlandaskan pada sektor ekonomi tetapi sektor ekologi dan sosial tetap diperhatikan,” ungkapnya.
Tak heran, jika beberapa agenda acara dalam ICE-PO 2013 juga menyajikan beberapa materi seminar terkait ISPO seperti tema yang bertajuk Penerapan ISPO di industri kelapa sawit” oleh Rosediana Suharto Komisi ISPO, dan “Prinsip Pola pengembangan perkebunan rakyat dan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan” oleh Teguh Wahyono perwakilan dari PPKS.
Selain itu, ICE-PO 2013 juga menyajikan seminar terkait perkembangan dan teknologi perkelapa sawitan di Indonesia seperti Sesi pertama pada tanggal 7 Mei 2013 yaitu cara pengendalian hama dan penyakit pada perkebunan kelapa sawit dengan cara inovasi “Hatch and Carry”, penggunaan herbisida majemuk, Konsorsium Entomopatogen, dan Termate Baiting System.
Dalam seminar ICEPO, dibahas pula perkembangan kluster di Indonesia yang dipresentasikan Prof. Endang Gumbira Sa’id, Guru Besar Institut Pertanian Bogor. Menurutnya, peningkatan pengolahan produk CPO terutama tiga produk turunan seperti fatty acid, fatty alcoholm dan biodiesel di Iindonesia, Maka sampai 2015, setidaknya 50% produksi CPO di dalam negeri dapat diolah menjadi produk bernilai tinggi sebelum di ekspor. Saat ini, Indonesiam memiliki tiga lokasi pengembangan kluster industri sawit di Sei Mangkei (Sumatera Utara), Kuala Enok (Riau), dan Maloy (Kalimantan Timur).
Saat ini, ada tujuh hambatan yang dihadapi industri hilir kelapa sawit yaitu minimnya dukungan infrastruktur (akses jalan, pelabuhan, dan pembangkit listrik), kurangnya integrasi yang baik antara industri hulu dan hilir, perusahaan sawit lebih meminati ekspor bahan baku (CPO dan PKO), belum ada pusat penelitian industri oleokimia yang dapat mendorong industri hilir, ketergantungan terhadap produk impor, belum adanya pekerja yang fokus kepada pengembangan industri sawit dan kluster, perlunya fiskal dan bantuan moneter untuk industri hilir.
Sebagai perbandingan, hadir pula perwakilan dari Palm Oil Cluster (POIC) Sabah Sdn Bhd yaitu Lynette J.Hoo. Dia menjelaskan, kluster Sabah mulai beroperasi semenjak beberapa tahun terakhir yang dilengkapi dengan fasilitas infrastruktur dan pelabuhan yang lengkap. Sampai Mei 2013, sudah ada 52 perusahaan yang menanamkan investasi disana dengan luas lahan 614,06 hektare. Nilai investasi mencapai RM 4,3 miliar.
Lynette berpendapat industri kelapa sawit perlu ditempatkan dalam satu kluster karena membawa perubahan signifikan terhadap ekonomi, sosial dan lingkungan. Perusahaan yang berada di kluster tersebut antara lain perusahaan pupuk, biodiesel, logistik, dan refineri.
Kondisi acara seminar ini pula yang membuat ICE-PO 2013 cukup diminati oleh pelbagai banyak pelaku industri kelapa sawit mulai produsen, pengusaha, eksportir, importir, pedagang, ilmuwan, insinyur, dan akademisi. Tak terlewatkan para pembuat kebijakan dan investor juga terlihat hadir dalam ajang konfrensi internasional ini. Selamat ! (Hendro R)