Disela kesibukannya, Pengamat Hubungan Internasional Dinna Wisnu meluangkan waktu berdiskusi mengenai kampanye negatif sawit. Dalam pandangannya, sawit sudah menjadi komoditas unggulan dan mendapat perhatian berbagai pihak di Indonesia. Perempuan yang mengajar di Universitas Katolik Atmajaya Jakarta ini menjelaskan secara gamblang persepsi negatif pihak asing terhadap industri sawit Indonesia.
“Beda negara, beda fokus dalam menyoroti industri sawit. Seperti yang saya sampaikan di Bali (IPOC) bahwa pihak Eropa mengkritisi isu environment (deforestasi). Sedangkan, Amerika lebih fair. Fokus persoalan transaksional (bisnis),”ujarnya.
Berbeda dengan Australia yang memakai kacamata environment. Kendati, dikatakan Dinna, mereka mencari harga sebaik mungkin dan membeli barang sebanyak mungkin.
Dinna Wisnu juga menangkap ada perbedaan persepsi antar kelompok dalam menanggapi kampanye negatif sawit. Misalnya, Gabungan pengusaha kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menilai kampanye itu serangan yang ditujukan pada keseluruhan industri sawit.
Padahal, sebagian besar masyarakat mengaitkan industri sawit dengan perusahaan skala besar. Jadi, sebenarnya ada dikotomi yang tidak dipahami oleh pelaku usaha sawit. “Tidak serta merta kampanye negatif sawit ditujukan pada komoditas,” tambah Dinna.
Dinna menjelaskan bahwa kampanye negatif sawit harus memahami dari dua faktor. Pertama, kampanye negatif diasosiasikan perubahan pola hidup masyarakat terutama pada generasi milenial. Dan, itu belum ditangani dengan baik oleh pelaku bisnis sawit di Indonesia.
Kedua, komoditas sawit masih dikaitkan erat dengan perusahaan sawit besar saja. Padahal, ada petani yang turut berkontribusi.
Membangun komunikasi sawit di sosial media, dijelaskan Dinna, perlu menyelami dan memahami pola pikir generasi milenial. Pemahaman ini penting sebelum melibatkan mereka dalam melawan kampanye negatif sawit. “Generasi milenial mempunyai pola pikir berbeda dengan generasi sebelumnya. Jadi cara berkomunikasi dengan mereka juga berbeda,” jelasnya lugas.
Generasi milenial, kata Dinna, punya karakter sangat peduli terhadap dampak yang timbulkan. Ketika perkebunan sawit dituding merusak lingkungan semisal deforestasi. Maka dapat dijawab dengan kontribusi sawit kepada pertumbuhan ekonomi.
Dinna menjelaskan sempat ada keluhan dari kelompok usaha sawit, kenapa yang dibahas selalu “green“? Bahwa sawit belum bisa dikatakan green ekonomi. Bahkan ada yang dengan lebih tegas menyoal keberlangsungan orangutan yang terganggu akibat lahan sawit dibanding membahas keberlangsungan manusia dan kontribusi ekonomi.
“Kondisi ini menunjukkan bahwa pola pikir anak muda peduli life style yang berhubungan satu dengan lainnya. Mereka juga ingin menjadi bagian dari gerakan di dunia yang peduli pada keramahan lingkungan atau environment,” jelasnya.
Untuk itu, perlu disampaikan peranan industri sawit kepada ekonomi nasional. Dapat pula disampaikan produk turunan sawit dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat termasuk generasi milenial. Memang upaya ini butuh waktu.