Kelapa sawit merupakan komoditas dengan daya saing dan keunggulan lebih baik daripada minyak nabati lain dari aspek produktivitas, harga serta varian produk turunannya. Saat ini, produk kelapa sawit yang dihasilkan Indonesia telah menyebar ke lebih 150 negara. Penetrasi sawit ini perlahan tapi pasti mulai menggeser posisi minyak nabati lainnya seperti minyak kedelai, rapeseed oil, dan minyak bunga matahari.
“Perkembangan pesat kelapa sawit saat ini membuat komoditas ini menghadapi banyak challenges (red-tantangan) di tingkat global, terutama dari para pesaing. Tujuan pesaing nya adalah menekan daya saing sawit di pasar global,” ujar Dr.Ir.I Gede Wibawa, DEA, Direktur Riset PT Riset Perkebunan Nusantara periode 2011-2020, dalam perbincangan via telepon.
Gede Wibawa menjelaskasn upaya menekan daya saing sawit dilakukan melalui berbagai cara, dari isue kesehatan, perubahan iklim, deforestasi, biodiversitas, kebijakan dan standardisasi keberlanjutan di negara pembeli. Sebagai contoh, kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II sangat diskriminatif terhadap kelapa sawit, karena ada upaya menghambat perluasan penggunaan sawit untuk bio-energi di Eropa.
Memang harus diakui bahwa Eropa adalah champion dalam membuat berbagai kebijakan green development, untuk menekan perubahan iklim atau climate change dan biodiversity loss. Tapi dalam konteks tertentu, yang tidak bisa kita terima adalah penggunaan dalih kebijakan lingkungan yang menghambat perdagangan. Karena, hal ini tidak sejalan dengan ketentuan perdagangan internasional yang diatur WTO.
“Jadi, kebijakan yang dibuat Eropa memang bagus dari aspek lingkungan global. Tetapi jangan pula kebijakan bagus ini menghambat perdagangan. Kami paham bahwa seluruh dunia, termasuk Indonesia. mencurahkan perhatian dan effortnya untuk penurunan emisi GHG, misalnya, namun jangan sampai kebijakan spesifik tertentu yang dibuat, diskriminatif terhadap produk strategis kita,” paparnya.
Untuk itu, kita sangat perlu memperkuat riset komoditas kita dan memonitor perkembangan global mengenai sustainability. Jangan sampai komoditas sawit yang berkontribusi Rp300 triliun setiap tahunnya bagi perekonimian nasional sampai terganggu.
Gede menjelaskan bahwa Eropa sejatinya memerlukan bahan bakar untuk transportasi dari energi terbarukan yang berasal dari minyak nabati seperti kelapa sawit. Diperkirakan target kebutuhan bahan bakar dari energi terbarukan sebesar 7 persen untuk kebutuhan transportasi luar biasa besarnya, artinya pasar tersebut harusnya bisa diisi oleh semua minyak nabati bahan baku biofuels.
Keinginan Eropa membatasi kelapa sawit sudah dimulai semenjak RED I melalui kriteria sustainability dan GHG emission saving. Para ekportir Indonesia sebagai penghasil minyak sawit bisa memenuhi dua kriteria keberlajutan dalam RED I tersebut, sehingga minyak sawit Indonesia lancar masuk ke pasar bahan baku energi terbarukan Eropa. Namun rupanya, peningkatan penggunaan minyak sawit yang menekan penggunaan bahan baku dari minyak nabati lainnya membuat produsennya tidak mampu bersaing. Muncullah kemudian aturan lain yang menekan minyak sawit.
Yang menjadi persoalan adalah kriteria menghambat yang ada dalam RED II, hanya tertuju kepada kelapa sawit, sedangkan minyak nabati lainnya “aman” termasuk kedelai. Pada November 2021 Komisi Uni Eropa menerbitkan proposal deforestastion free certification untuk komoditas kelapa sawit, daging sapi, kedelai, kopi dan kakao, serta kayu terbit pada November 2021, yang dianggap sebagai penyebab deforestasi utama di tingkat global.
Melalui proposal ini Uni Eropa telah mengakui bukan lagi hanya sawit sebagai penyebab utama deforestasi, namun ada komoditas lainnya. Memang dalam kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II, yang paling terkena imbas terbesar adalah kelapa sawit, karena termasuk komoditas High ILUC riks feedstock” jelas Gede.
Kelapa sawit ini merupakan komoditas yang paling banyak diatur dari aspek standar keberlanjutan. Gede menuturkan Indonesia telah menjalankan praktik keberlajutan dengan sangat intensif untuk merespons kebutuhan pasar global. Adanya standardisasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), merupakan langkah penting atas respons tersebut. Usaha Pemerintah untuk meyakinkan berbagai negara mitra dagang komoditas ini, bahwa Indonesia mempunyai ISPO sebagai standar keberlanjutan sawit Indonesiapun makin intensif dilakukan. Hal ini merupakan perkembangan yang baik.
Gede menyarankan agar Indonesia tetap dapat menghadapi berbagai tekanan, salah satunya melalui penguatan program dan pendanaan riset untuk menjawab isu negatif melalui argument logis dan ilmiah. Kebijakan BPDP yang terus memberikan dukungan pendanaan dan penguatan riset patut dihargai. Memang, masih banyak yang harus kita perkuat, termasuk banyak hasil riset yang belum terpublikasikan di dalam jurnal ilmiah internasional terakreditasi, yang sangat penting dan strategis dalam diplomasi dan advokasi komoditas sawit kita.