Keberhasilan Asosiasi Petani Swadaya Amanah, yang dipimpin H. Sunarno, patut mendapat apresiasi. Pasalnya organisasi yang beranggotakan petani sawit swadaya kini sudah dapat dirasakan manfaatnya bagi anggotanya.
Saat dihubungi melalui sambungan telepon seluler, Sunarno menceritakan awal mula pembentukan Asosiasi Petani Swadaya Amanah. “Ketimpangan sosial yang dirasakan petani swadaya melihat petani plasma dalam praktik budidaya tanaman sawit yang mendorong melakukan terobosan, menyatukan petani swadaya supaya bisa mempraktikkan budidaya tanaman sawit seperti petani yang menjadi mitra perusahaan,” ujarnya.
Saat itu, lanjut Sunarno, tidak banyak yang memikirkan nasib petani swadaya. Banyak dari mereka (petani swadaya) dengan segala keterbatasannya bertahan mengelola tanaman sawit di kebunnya. Akhirnya kepikiran membentuk wadah untuk mengakomodir kebutuhan petani swadya. Dengan membentuk Asosiasi untuk petani swadaya,” imbuhnya, pada pertengahan Juli 2021.
Sebelum didirikan Asosiasi, petani sawit swadaya mempraktikkan budidaya tanaman sawit dengan keterbatasan dan mengalami kesulitan menjual Tandan Buah Sawit (TBS) sehingga mengandalkan tengkulak (pengepul).“Saat itu, perawatan tanaman sawit (pemupukan) dilakukan tidak sesuai standar. Ada petani yang memupuk dan tidak memupuk sehigga berdampak pada produktivitas. Dalam setahun hanya 2 kali pemupukan pada hal idealnya dalam satu tahun harus melakukan pemupukan 5-6 kali,” kata pria kelahiran Wonogiri, Jawa Tengah.
Kemudian, ia menambahkan untuk penjualan TBS, petani hanya bisa mengandalkan tengkulan (pengepul). Panen TBS dari luasan 25-50 ha, ada 5-7 tengkulak. Bisa 10-20 truk yang keluar masuk lewat jalan kebun sehingga berdampak pada kondisi jalan. Ketika terjadi kerusakan jalan saling lempar tanggung jawab karena belum ada kebersamaan. Idealnya, dalam rotasi panen 10 hari, hanya 1 mobil yang masuk, yang berdampak pada stabilitas jalan,” tambah Sunarno.
Dengan dibentuknya Asosiasi, perawatan kebun sawit lebih terkoordinir karena disusun tim perawatan kebun salah satunya tim semprot (pestisida). “Sebelumnya petani menyemprot tanaman semaunya petani jadi tidak berkala karena keterbatasan pengetahuan praktik budidaya,” terang Sunarno.
Asosiasi yang menjadi wadah petani swadaya, didirikan 2012 lalu, kini sudah menjadi organisasi yang sudah dapat mengakomodir anggotanya. Awal didirikan, hanya beranggotakan 349 anggota dengan luasan lahan 748 ha. Seiring perjalanannya, 2014 anggota bertambah menjadi 501 petani dengan luasan lahan 1048 ha, di Ukui, Pelalawan, Provinsi Riau. Hingga saat ini, jumlah anggotanya tetap.
Selanjutnya, Sunarno menjelaskan kunci sukses mengelola organisasi. Kuncinyaya itu kebersamaan dan tidak memberatkan anggota. “Pertama, harus bisa membangun kebersamaan anggota, dari awal langkah ini yang kami lakukan menciptakan kebersamaan sesama petani (anggota dan pengurus). Upaya ini dijalankan untuk membangun rasa pentingnya berorganisasi sebagai wadah petani swadaya untuk menampung aspirasi dan mencari solusi. Kedua, kami tidak memungut iuran pada petani melainkan sebisa mungkin organisasi tidak memberatkan anggota tetapi dapat memberikan manfaat (keuntungan),” jelasnya
Upaya agar organisasi bisa memberikan keuntungan secara ekonomi, diwujudkan dengan menggandeng perusahaan swasta (pabrik sawit) untuk menjual harga TBS. “Kami menginginkan ada kepastian harga dan pengiriman TBS, kami bermitra dengan perusahaan,” kata, Sunarno yang memiliki pengalaman menjadi Ketua Koperasi.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit indonesia, Edisi 117)